Mikroskop Psikolog Organisasi: Sehat atau Tidak?

Selasa, 01 Desember 2009 ·

Dalam psikologi organisasi, perilaku individu dan kelompok dalam organisasi formal dipahami melalui pendekatan ilmiah dengan mengambil pemahaman dari sub-bidang psikologi lainnya. Organisasi formal dibentuk untuk memenuhi berbagai tujuan yang dinyatakan secara eksplisit dan biasanya tertulis, mencakup organisasi-organisasi bisnis dan non bisnis (seperti universitas, departemen pemerintahan, organisasi pelayanan sosial, dll.). Psikologi organisasi membantu organisasi-organisasi berfungsi lebih efektif melalui berbagai penelitian ilmiah dan aplikasi dari hasil-hasil penelitian.

Dibandingkan dengan organisasi yang kurang efektif, organisasi yang efektif biasanya lebih produktif, menyajikan pelayanan-pelayanan yang lebih berkualitas, serta lebih sukses dari segi keuangan. Bagi organisasi-organisasi swasta, kesuksesan tercermin dari kekayaan para pemangku kepentingan dan rasa aman bekerja para karyawan. Bagi organisasi-organisasi pemerintah (seperti departemen kepolisian, pemerintahan daerah, universitas pemerintah, dll.), kesuksesan berarti penghematan biaya dan pelayanan-pelayanan yang lebih berkualitas kepada para wajib pajak. Secara tidak langsung, organisasi-organisasi yang sukses menyediakan peluang-peluang kerja dalam memfasilitasi peningkatan ekonomi anggota masyarakat. Para karyawan dalam organisasi-organisasi yang sukses juga lebih puas dalam bekerja, yang sekaligus dapat berdampak pada meningkatnya perilaku positif karyawan dalam menjalani peran-peran di luar pekerjaan, misalnya sebagai orangtua dan anggota masyarakat. Selain itu, para konsumen juga mendapatkan tawaran produk-produk dan pelayanan-pelayanan dengan harga yang lebih rendah dengan meningkatnya penghematan biaya organisasi. Kesimpulannya, semua pihak berpotensi diuntungkan ketika organisasi-organisasi berfungsi secara efektif.

Sebagian orang mungkin memperdebatkan kriteria kesuksesan adalah subjektif sifatnya, namun kesehatan organisasi tetap selalu menjadi hal yang penting untuk dipelihara agar organisasi dapat menjaga keberlangsungan hidupnya. Organisasi yang sehat memenuhi misinya dan sekaligus membuat individu-individu di dalamnya belajar, bertumbuh dan berkembang. Fokus utamanya adalah mendesain struktur organisasi yang optimal, sehingga memiliki kerangka yang sehat sebagai pondasi dasar bagi tubuh yang sehat. Selain itu, proses-proses yang berlangsung di dalam organisasi, seperti sistem penghargaan (reward) dan praktik-praktik sumber daya manusia (SDM), serta dimensi-dimensi pengembangan dan teknologi juga memberikan dampak bagi kesehatan organisasi.

Secara umum, ada sejumlah alasan yang menyebabkan organisasi menjadi tidak sehat, di antaranya strategi organisasi yang gagal, desain organisasi yang tidak tepat, ketidak-jelasan hubungan antara aktivitas organisasi dengan strategi organisasi, budaya organisasi yang tidak tepat, serta kualitas sumber daya manusia organisasi yang kurang memenuhi kebutuhan organisasi. Lebih spesifik lagi, berbagai penyebab organisasi-organisasi menjadi tidak sehat dijelaskan sebagai berikut:
  • Ketidak-jelasan akuntabilitas, yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan seperti: kurangnya atau ketidak-jelasan visi, ketidak-jelasan prioritas-prioritas, ketidak-mampuan untuk membuat keputusan-keputusan secara cepat, duplikasi pekerjaan, pekerjaan diabaikan dan/atau dihilangkan, kurangnya delegasi yang tepat, kelebihan jumlah karyawan, reaksi yang lambat terhadap berbagai pelanggan dan kompetisi, ketidak-jelasan perkembangan karier, kesulitan untuk menangani pertumbuhan yang cepat, pekerjaan yang berkualitas tidak tercapai, para manajer ditarik ke dalam level-level pekerjaan yang tidak tepat, terlalu banyak pertemuan-pertemuan/rapat-rapat, pertemuan-pertemuan/rapat-rapat yang tidak efektif, loyalitas (kepatuhan) yang terbagi, penggunaan kapasitas individu yang tidak optimal, kehilangan kreativitas, kehilangan orang-orang yang “baik”, waktu bekerja yang panjang dan penuh tekanan, langkah-langkah otoriasi yang terlalu panjang, serta buruknya relasi di antara karyawan (mentalitas ‘mereka dan kami’).
  • Antisipasi pertumbuhan pada masa yang akan datang, yang cenderung hanya diperluas dari tren-tren pada masa sebelumnya. Ketika terjadi penurunan (atau permasalahan) terkait ekonomi atau aktivitas organisasi yang sedang berlangsung, terkadang para manajer mencoba membangun cara-cara untuk keluar dari permasalahan ketimbang mengatasi permasalahan tersebut. Dilema akut yang seringkali muncul terkait peran manajer sesuai dengan struktur organisasi adalah di satu sisi diperdebatkan bahwa jika sumber daya tidak disediakan, maka pertumbuhan tidak akan terjadi; sementara di sisi lain, jika terlalu banyak sumber daya disediakan terlalu awal, maka inisiatif yang dilakukan akan gagal dengan adanya beban biaya di awal.
  • Arogansi keuntungan, dengan asumsi bahwa suatu organisasi yang begitu menguntungkan secara otomatis adalah sempurna untuk segala aspek organisasinya. Hal ini bukan berarti bahwa setiap organisasi yang menguntungkan akan menjadi tidak sehat, melainkan bahwa organisasi-organisasi yang menghasilkan keuntungan umumnya akan merasa ‘aman’ dan mengarahkan diri pada pemikiran bahwa setiap aspek bisnisnya secara merata sudah baik, baik dalam segi ukuran, kualitas dan keterampilan. Keuntungan-keuntungan jangka pendek dapat membutakan para pemimpin akan kegagalan untuk memenuhi standar tertentu terkait kinerja organisasi yang lebih luas.
  • Dampak sistem-sistem formal dalam evaluasi pekerjaan dan penyelenggaraan promosi-promosi, yang mengabaikan aspek kualitas (hanya kuantitas dari sistem, seperti job analysis, job ranking, job grading, dan job evaluation) dalam pengambilan keputusan promosi, sehingga pada akhirnya tidak memberikan nilai tambah kepada organisasi. Pertumbuhan sistem-sistem formal dalam mengukur nilai suatu pekerjaan selaras dengan pertumbuhan birokrasi pada abad ke-20. Hubungan antara penghargaan-penghargaan (rewards) dan evaluasi jabatan (job evaluation) telah mengakibatkan distorsi pada struktur organisasi-organisasi. Pergerakan dari satu tingkat (grade) ke tingkat lainnya telah dikenal dengan sebutan ‘promosi’, yang membawa lebih banyak uang, status yang lebih tinggi, dan ‘kemajuan’ yang lebih. Penyelenggaraan promosi-promosi semacam ini seringkali dicapai dengan menambah lapisan-lapisan dalam organisasi sebagai cara untuk menambah anggaran belanja, aset-aset dan bawahan-bawahan, yang sekaligus menjadi standar atau kriteria dari sistem pengukuran dalam evaluasi jabatan. Kecenderungan untuk menggunakan sistem-sistem formal ini juga didorong oleh hasrat organisasi-organisasi (seperti perusahaan-perusahaan multinasional) untuk menghubungkan sistem-sistem yang mereka miliki dalam memfasilitasi pengukuran standar-standar gaji di pasar.
  • Mendesain struktur dari atas ke bawah (top-down) ketika rentang kontrol CEO (chief executive officer) sempit secara proporsi, ada kecenderungan alami untuk menambah lapisan-lapisan yang dekat dengan manajemen atas, yang sesungguhnya tidak diperlukan di dalam organisasi. Ketika satu orang mengorganisasi dari atas ke bawah, akan menjadi sulit untuk menunjukkan letak nilai tambah pengambilan keputusan sesungguhnya berada. Pada tahap mendesain, meskipun orang-orang di dalam organisasi merupakan komponen yang penting, struktur dibangun terpisah dari kebutuhan-kebutuhan orang-orang yang ada di dalam organisasi pada saat yang bersangkutan. Desain dimodifikasi sesuai dengan ketersediaan, kekurangan, atau kemampuan dari sumber daya manusia; sehingga penyimpangan dapat diketahui dan diperbaiki secara terus-menerus.
  • Dampak titel-titel (nama jabatan), serupa dengan dampak yang telah disebutkan terkait sistem evaluasi pekerjaan. Terlalu bergantung pada titel-titel akan menyebabkan permasalahan dalam membedakan akuntabilitas dan peran di dalam organisasi, misalnya antara CEO (chief executive officer) dan COO (chief operational officer). Bertambahnya jumlah titel di dalam organisasi secara langsung mengarah pada organisasi-organisasi yang memiliki kelebihan lapisan dan tidak sehat, sehingga akuntabilitas menjadi kurang jelas (kabur), yang pada akhirnya menyebabkan frustrasi dan menurunkan motivasi orang-orang di dalam organisasi untuk bekerja dan belajar.
  • Penekanan pada kontrol, juga turut berkontribusi dalam penambahan lapisan yang tidak perlu di dalam organisasi. Sejarahnya, lebih dari 100 tahun lalu barisan terdepan organisasi (frontline) tidak berpendidikan dan tidak memiliki keterampilan kerja, namun pada abad ke-21 hal ini sudah bukan menjadi persoalan. Namun, di negara-negara berkembang masih ada kecenderungan untuk percaya bahwa bawahan yang tingkat pendidikannya lebih rendah memerlukan supervisi yang lebih besar. Penelitian di berbagai negara berkembang menunjukkan bahwa pekerja-pekerja yang belum berpengalaman dan kurang memiliki keterampilan akan dilatih dengan lebih baik dan akan belajar lebih cepat dengan melapor secara langsung kepada bos yang sesungguhnya ketimbang hanya menjadi ‘pesuruh’ dari atasannya. Pada akhirnya, hal ini bukan lagi merupakan pemberian otoritas (empowerment), melainkan semata-mata hasrat untuk mengontrol.
  • Promosi dari dalam, yang cenderung menjadi peraturan perusahaan-perusahaan yang telah sukses dan berdiri lebih dari 100 tahun untuk mengembangkan orang-orang (talents) di dalamnya. Bahayanya, dalam usaha menciptakan pekerjaan-pekerjaan untuk ‘promosi’ atau ‘pelatihan’, lapisan-lapisan baru diciptakan, yang seringkali sifatnya bukan pekerjaan (non-jobs) dan tidak memenuhi tujuan-tujuan pekerjaan ini didesain. Hal ini selalu disebabkan oleh kebingungan terkait level, status dan gaji pekerjaan baru dengan adanya konsep akuntabilitas. Agar filosofi positif dari promosi tidak diselewengkan, diperlukan kerangka pemikiran yang akurat berkaitan dengan prinsip-prinsip yang dianut organisasi, sebagai pelindung organisasi.
  • Pemikiran terkait wilayah operasi organisasi, yang merupakan rasionalisasi (pembenaran palsu; fakta, namun tidak valid) sebagian besar organisasi terkait struktur tidak sehat yang dimilikinya, dengan alasan situasi dan kondisi lokal yang unik. Seiring dengan globalisasi, hal ini hanya mencerminkan pemikiran yang sempit dengan melihat dan menerima keterbatasan-keterbatasan yang akan selalu ada.
  • Beban pekerjaan dalam garis horizontal organisasi, bila tidak tepat secara proporsi akan mengarah pada jumlah lapisan dalam garis vertikal yang tidak tepat, begitu pula sebaliknya; sehingga keduanya perlu diatur keseimbangannya. Terlalu sedikitnya lapisan vertikal atau terlalu banyaknya spesialisasi fungsi pekerjaan dapat menyebabkan berlebihnya beban pekerjaan dalam garis horizontal. Untuk menjawab permintaan penambahan lapisan, perlu diteliti jangkauan horizontal dari organisasi yang mengajukan permintaan. Biasanya, diasumsikan bahwa suatu unit dapat menangani pekerjaan unit lainnya bila memang ada sinergi di antara keduanya. Pada kenyataannya, seringkali bukan hal ini yang terjadi dan dilakukan penambahan lapisan yang tidak memberikan nilai tambah bagi organisasi.
  • Kebingungan antara pekerjaan-pekerjaan utama dan pendukung, yang mengarahkan pekerjaan-pekerjaan pendukung ditempatkan secara tidak tepat dalam kerangka akuntabilitas.
Teorinya jelas, namun permasalahannya adalah bagaimana mendesainnya dalam praktik. Berapa banyak tulang punggung yang seharusnya ada dalam kerangka organisasi yang sehat? Apa posisi-posisi kuncinya? Bagaimana masing-masing posisi ini diidentifikasi? Apa dampak menghilangkan suatu posisi dari kerangka tersebut? Apa dampaknya bagi pengembangan dan motivasi para pemegang posisi? Yang mengejutkan, pada awal abad ke-21 hal ini masih menjadi area yang perlu dijawab dan merupakan tren baru bagi sebagian besar organisasi. Bagaimana pun, perlu diingat bahwa tidak ada solusi ‘perbaikan-cepat’ bila suatu organisasi hendak menghindari krisis pada masa yang akan datang.

Visi untuk mencapai suatu organisasi yang sehat dapat dirumuskan sebagai suatu organisasi yang dengan jumlah optimal lapisan kepemimpinan, yang secara jelas menambah nilai dalam pekerjaan orang-orang di dalam organisasi. Hal ini mencakup desain dan pelaksanaan misi dan strategi organisasi. Pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab secara tepat dan jelas di antaranya terkait: (1) bagaimana cara menyediakan ruang dan tantangan bagi individu-individu di dalam organisasi untuk mencapai kinerja yang diperlukan, secara berkelanjutan belajar, bertumbuh dan menikmati pekerjaan mereka, serta mendapatkan penghargaan yang tepat atas kinerja mereka, (2) bagaimana cara memastikan bahwa jumlah pekerjaan sudah tepat sebagai dasar bagi organisasi yang efektif dari segi biaya, serta (3) bagaimana cara mengidentifikasi talents (orang-orang yang dinilai memberikan kontribusi yang signifikan bagi organisasi) dan menyusun rencana pengembangan yang relevan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan individu dan organisasi.

Secara luas, diasumsikan bahwa “struktur organisasi yang datar/ramping/pendek” (flat organization) merupakan organisasi yang sehat. Frase ini merupakan suatu oksimoron, pemaknaan kata yang berlawanan arti, sehingga dalam praktiknya sering disalahartikan. Setiap organisasi yang berdiri untuk mencapai suatu tujuan tertentu memerlukan suatu kerangka akuntabilitas pengambilan keputusan (decision-making accountability, DMA) yang transparan. Berbagai penelitian analisis DMA dimulai sejak tahun 1988, termasuk di dalamnya melibatkan Tesco dan Unilever, memfokuskan pada kualitas keputusan-keputusan yang diambil (tidak hanya sebatas sumber daya yang ditangani), apa yang ‘ditambahkan’ oleh keputusan-keputusan ini pada pekerjaan-pekerjaan orang lain, serta kapan pemegang posisi perlu menjawab pada otoritas yang lebih tinggi terkait pekerjaan, berbagai sumber daya, pelayananan, dan hasil, sejalan dengan kontribusinya terhadap misi organisasi atau unit bisnis. Semakin tinggi level suatu pekerjaan, DMA semakin bersifat strategis; sebaliknya, semakin rendah level suatu pekerjaan, DMA semakin bersifat operasional. DMA membentuk suatu pendekatan yang terintegrasi secara konseptual terkait desain organisasi, manajemen penghargaan (rewards), pengembangan individu, perencanaan karier, serta pengembangan organisasi.

Tiga prinsip dasar DMA dijelaskan sebagai berikut:
  1. Seluruh pekerjaan yang terorganisasi, manajerial atau non-manajerial, berada pada suatu hierarki yang terdiri dari level-level atau lapisan-lapisan yang terpisah dan dapat dibedakan satu dengan yang lainnya. Pada setiap tingkat kesuksesan, suatu tujuan perlu dicapai. Semakin tinggi setiap tingkatan, keputusan-keputusan yang perlu diambil pun menjadi semakin luas sifatnya, rentang situasi yang perlu dipertimbangkan menjadi semakin kompleks, semakin melibatkan banyak orang, semakin tinggi kualitas individu yang diperlukan, otoritas dan kebebasan pengambilan keputusan semakin meningkat, serta diperlukan waktu yang lebih lama untuk mengukur dampak dari keputusan-keputusan yang diambil.
  2. Untuk setiap level pekerjaan, keseimbangan tugas-tugas pekerjaan utama berada pada satu level. Indikasi keseimbangan (ada/tidak adanya ‘kelebihan’ akuntabilitas) adalah dengan mengidentifikasi tugas-tugas pekerjaan mana yang memerlukan waktu yang paling besar. Dalam kasus-kasus tertentu, pekerjaan akan menyebar lebih dari satu level, misalnya seorang eksekutif yang bertanggung-jawab untuk pengambilan keputusan-keputusan strategis mungkin juga perlu menyediakan waktu untuk hal-hal administratif yang kurang menantang, untuk memastikan para bawahan memenuhi tanggung-jawab utama pekerjaannya. Namun, jika sebagian besar waktu eksekutif dihabiskan untuk tugas-tugas pekerjaan pada level yang lebih rendah, maka hal ini akan mengarah pada permasalahan-permasalahan pengembangan organisasi.
  3. Setiap tingkat akuntabilitas memerlukan satu dan hanya satu lapisan manajemen, dan hal ini menjadi Golden Rule desain organisasi yang optimal adalah: jumlah lapisan manajemen sama dengan jumlah level pekerjaan dikurangi satu (optimum structure = work levels minus 1). Satu lapisan manajemen diperlukan hanya jika atasan pada level ini benar-benar bertanggung-jawab untuk membuat keputusan-keputusan yang tidak dapat dilakukan oleh para bawahannya, dengan otoritas yang turut mempertimbangkan dan mengintegrasi hal-hal yang memang lebih luas dan kompleks dari para bawahannya.
Singkatnya, model DMA menyajikan ‘struktur-struktur yang lebih datar/ramping/pendek, komunikasi dan pengambilan keputusan yang lebih cepat, inovasi yang lebih baik, hubungan yang lebih dekat dengan pelanggan, dan tenaga pekerja bermotivasi tinggi’ melalui pengamatan realitas (sehubungan dengan kebutuhan organisasi). Meskipun demikian, ada pula kasus-kasus terjadinya distorsi akibat organisasi memiliki lapisan yang terlalu sedikit. Beberapa penyebab yang umum, antara lain:
  • ‘Membebaskan organisasi dari hierarki’, dengan adanya asumsi yang gila bahwa hierarki pada dasarnya buruk. Beberapa keyakinan yang turut mendorong hasrat untuk merampingkan organisasi: (1) Organisasi model orkestra, bahwa dalam suatu institusi perlu ada suatu otoritas akhir, yaitu bos/pemilik (Peter Drucker, 1998); (2) Perlunya manajemen turun ke level-level di bawahnya (management by walking around); (3) Pemahaman bahwa kelebihan ‘kepala’ (pekerja) hanya akan menambah biaya; dan/atau (4) Piramida organisasi terbalik (pelanggan dan barisan terdepan pekerja di piramida bagian atas dan CEO di bagian bawah), yang membingungkan simbol dengan makna.
  • Pengurangan biaya yang sangat besar, yang terjadi karena keputusan-keputusan atau pengamatan-pengamatan manajemen. Pendekatan yang paling umum dan sederhana adalah menggunakan persentase tetap (fixed percentage) untuk setiap divisi, yang mengarah pada dua jebakan, yaitu beberapa divisi dipotong terlalu dalam dan divisi lainya kurang dalam. Pada akhirnya, pendekatan ini selalu merupakan keputusan yang salah dengan alasan-alasan yang berbeda untuk setiap divisi. Hal ini biasanya merupakan keputusan politis organisasi dan menjadi pertolongan terakhir untuk melindungi kepemimpinan yang lemah. Permasalahan utama dalam merampingkan organisasi berdasarkan biaya adalah menentukan cara untuk mengetahui kapan dan mengapa perlu berhenti.
  • Hasil menebak atau mengira-ngira, karena kurangnya pemahaman yang relevan dalam menentukan pekerjaan-pekerjaan mana yang perlu dihilangkan ketika disadari ada terlalu banyak lapisan manajemen.
  • Kerja tim yang efektif, dapat meningkatkan, namun tidak dapat menggantikan kebutuhan organisasi akan akuntabilitas. Kerja tim tidak dapat secara otomatis membentuk organisasi yang datar/ramping, atau pun budaya organisasi yang memandang bahwa setiap orang adalah sama dan memiliki hak-hak dan kesempatan-kesempatan yang sama (egalitarianisme).
  • Dampak teknologi informasi (komputer dan internet), dikatakan telah menghilangkan manajemen organisasi lini tengah, yang biasanya merupakan usaha para eksekutif untuk memadatkan struktur organisasi sebagai bagian dari usaha untuk membenarkan adanya biaya tambahan, sementara sebagian lagi karena teknologi informasi telah menjadi gerbang organisasi untuk menjadi lebih dari sekedar hierarki. Penggunaan teknologi informasi tidak akan membantu bila pekerjaan tidak diorganisasikan dan didesain dalam struktur yang efektif.
  • Pertumbuhan yang sangat cepat, yang membawa organisasi pada tingkat kebutuhan akuntabilitas yang lebih tinggi. Misalnya, kepala unit bisnis menemukan bahwa pekerjaan telah ditingkatkan pada domain yang lebih strategis, sementara pada saat yang sama para bawahan dihadapkan pada pengambilan keputusan-keputusan yang lebih kompleks dan masuk ke dalam wilayah perencanaan yang membutuhkan waktu yang lebih lama dan lebih kritis sifatnya. Seperti akibat yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa antisipasi pertumbuhan organisasi yang terencana dapat mengarah pada kelebihan lapisan organisasi, hal ini mungkin juga secara tidak tepat memperlambat penambahan ‘orang-orang kunci’ untuk memenuhi kebutuhan pekerjaan dan akuntabilitas. Hal ini terkadang didorong oleh hasrat untuk meningkatkan produktivitas, yang seiring dengan pertumbuhan organisasi, penambahan ‘orang-orang kunci’ diperlukan.
Kesimpulannya, struktur organisasi yang terlalu panjang atau terlalu pendek keduanya akan menyebabkan konsekuensi yang serupa terkait komunikasi dan pengambilan keputusan di dalam organisasi. Dalam struktur organisasi yang terlalu panjang, komunikasi antara CEO dan barisan terdepan organisasi menjadi terhambat. Dalam struktur yang terlalu pendek, supervisor yang tidak dapat memenuhi semua kebutuhan komunikasi dan pengambilan keputusan, sehingga laporan-laporan dari para bawahan akhirnya hanya diletakkan di meja saja, sementara informasi dari manajemen yang lebih atas juga tidak dapat disampaikan oleh supervisor kepada para bawahannya karena supervisor terlalu sibuk dengan hal-hal lainnya. Komunikasi ke atas dan ke bawah menjadi tertahan di leher organisasi. Oleh karena itu, keseimbangan antara garis vertikal dan garis horizontal struktur organisasi perlu dibangun dan selalu dipelihara.



Referensi:
  • Jex, S. M. (2002). Organizational psychology: A scientist-practitioner approach. New York: John Wiley & Sons.
  • Dive, B. (2004). The healthy organization: A revolutionary approach to people and management (2nd ed.). London & Sterling: Kogan Page.

Terima kasih Anda sudah membaca tulisan ini.

0 komentar:

Psikolog Indonesia Belajar & Berbagi

Tulisan-tulisan di dalam blog ini sepenuhnya merupakan pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh dari pengalaman, bahan bacaan, dan/atau hasil studi, yang dinilai dapat bermanfaat bagi kolega, rekan kerja, teman, keluarga, serta masyarakat luas. Tanggapan-tanggapan, baik berupa diskusi (setuju atau pun tidak setuju beserta alasan-alasannya), pengalaman pribadi dan/atau orang lain, pertanyaan, kritik, dan/atau saran, atas tulisan-tulisan yang ditampilkan selalu terbuka bagi para penulis dan pembaca lain, demi tujuan-tujuan yang konstruktif, khususnya belajar dan berbagi bersama.

Blog ini ditujukan bagi para penulis dan pembaca untuk belajar menyampaikan informasi dan pengetahuan yang dimiliki secara cuma-cuma kepada siapa saja yang mungkin membutuhkan, sekaligus belajar menerima informasi dan pengetahuan baru dari para penulis dan pembaca lain yang bersedia menuliskan tanggapan atas tulisan-tulisan yang ditampilkan.

Blog ini dibuat dan dikembangkan setelah adanya pemahaman tentang analogi 'Laut Mati' yang disampaikan oleh seorang praktisi SDM di salah satu perusahaan multinasional: Tidak ada kehidupan di Laut Mati, karena Laut Mati hanya menerima, namun tidak memberi (alias berbagi). Beberapa waktu sebelumnya, seorang teman menggunakan analogi 'Gunung Tinggi' untuk menunjukkan bahwa: Tidak menyenangkan dan sunyi berada di atas Gunung Tinggi seorang diri hanya karena diri memilih dan berkeinginan untuk mengetahui segala sesuatunya tentang dunia, lalu tidak ingat pentingnya berbagi pengetahuan untuk bisa terus-menerus belajar. Seorang bijak lainnya menambahkan: Belajar dan berbagi dalam hidup sangat penting agar manusia tidak menjadi arogan.

Nah, bagi siapa pun yang hendak turut menuliskan ide/pemikiran melalui blog ini, silahkan mengirimkan nama lengkap, deskripsi diri, dan contoh tulisan ke: tjo.ellys@gmail.com, untuk ditambahkan ke dalam Daftar Penulis blog ini. Mohon cantumkan referensi bila mengutip dari sumber bacaan/film/karya lain.

Selain itu, via alamat email tersebut, Anda bisa juga mengirimkan tanggapan-tanggapan, topik-topik ide/pemikiran untuk dituliskan, dan/atau KONSULTASI atau KONSELING GRATIS dengan Administrator dalam batasan kode etik profesi sebagai psikolog. Anda dapat mengajukan diri pula untuk ditambahkan ke dalam atau dihapuskan dari mailing list (daftar penerima informasi bila diterbitkan tulisan-tulisan baru) blog ini. Tentu, sebelumnya Anda perlu menjadi follower blog ini dengan mengklik icon 'Follow' di bagian 'PENGIKUT BLOG INI'.

Ditunggu ya partisipasinya ... :)
Terima kasih.

Salam & Semangat Belajar & Berbagi,
Ellys Tjo, M.Psi., Psikolog, CHRP
selaku Administrator

Kutipan

It is a fine thing to have ability, but the ability to discover ability in others is the true test. ~Elbert Hubbard (1856-1915)
For me, words are a form of action, capable of influencing change. ~Ingrid Bengis (1944 - ...), quoted by Barack Obama in one of his 2008 campaign speeches.

Pengikut Blog Ini

Penelusuran Lainnya