Salah seorang dosen Pengukuran & Konstruksi Tes Psikologis saya mengatakan bahwa hingga saat ini hanya psikolog yang mendapatkan kesempatan legal untuk melakukan berbagai pengukuran dan interpretasi psikologis, baik untuk keperluan individu dan/atau perusahaan. Untuk melakukan berbagai praktik psikologi pun diperlukan Surat Izin Praktek Psikolog yang saat ini dikeluarkan hanya oleh Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi). Tentu sebelumnya diawali dengan menjalani jenjang pendidikan yang disyaratkan, yakni S1 Psikologi (empat tahun), Profesi Psikologi (dua tahun), ditambah dengan S2 Psikologi (dua tahun) untuk bidang kekhususan tertentu, atau kedua yang terakhir dijalani sekaligus dalam program Magister Profesi Psikologi (2 tahun). Para lulusan pun dipastikan memahami Kode Etik Psikologi dan mengangkat Sumpah Profesi di bawah ajaran agamanya masing-masing di hadapan publik (kolega, pasangan hidup, orangtua, serta anggota masyarakat lainnya yang diundang pada sesi tersebut). Saya melihat prosedur ini ada karena telah disadari bahwa seorang psikolog akan selalu mengemban tanggung jawab besar atas profesi yang dimilikinya dalam sisa hidupnya.
Misalnya, suatu interpretasi hasil psikotes yang dilakukan oleh psikolog untuk tujuan rekrutmen, promosi/mutasi, pelatihan, atau pengembangan organisasi lainnya bisa mengubah langkah hidup seseorang atau suatu perusahaan dan negara (diketahui bahwa pemerintah Indonesia menempatkan para psikolog dalam jajaran pengambil keputusan untuk menentukan apakah seseorang layak memegang senjata atau tidak). Dengan demikian, unsur legalitas dan profesionalitas seorang psikolog sangat penting, sehingga perlu dijaga dan dipelihara dengan meningkatkan kompetensi yang dimiliki secara berkelanjutan melalui pembelajaran seumur hidup, baik dengan membaca buku-buku atau jurnal-jurnal terkini sesuai dengan bidang profesinya, atau mengikuti jalur sertifikasi profesi, studi lanjutan, serta pengalaman praktik psikologi sehari-hari secara tepat.
Peribahasa Indonesia mengatakan: “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Kurang profesionalnya seorang psikolog dalam praktik yang dijalankannya sehari-hari, selain merusak citra dirinya, dapat pula merambat kepada citra profesi psikolog, universitas tempat ia diluluskan, institusi yang mengeluarkan izin praktik, kolega yang berkerja-sama dengan dirinya, perusahaan yang telah memilihnya sebagai tenaga profesional, bahkan orangtua yang telah mendidiknya dari ia lahir. Berlebihan? Menurut saya, sama sekali tidak. Pilihan-pilihan tersebut akan selalu ada dan tanggung jawab terbesar atas pilihan yang diambil selalu ditujukan kepada Sang Pencipta. Namun tentu, Anda boleh tidak setuju.
Setelah lulus program Magister Profesi Psikologi (Industri & Organisasi) dan program Certified Human Resources Professional dari Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta pun, saya sadari hal-hal yang perlu saya pelajari masih sangat banyak, bila memang berharap diri dapat memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat terkait pengembangan SDM dan industri/organisasi Indonesia. Saya memang senang membaca, namun sekarang menjadi kecanduan buku-buku ilmiah. Ditambah lagi, salah seorang dosen Psikologi Budaya saya mengatakan, “Seringkali, yang memastikan bahwa suatu perencanaan organisasi berhasil adalah budaya orang-orang di dalamnya, sehingga pemahaman tentang budaya organisasi, baik pemimpin dan karyawan, menjadi prasyarat. Tidak ada budaya yang benar/salah, baik/buruk, yang terpenting adalah bagaimana penyesuaian diri individu bila memilih untuk berada dalam suatu lingkungan budaya tertentu. Terkait dengan hal ini, kualitas interaksi/komunikasi dengan orang-orang di dalam organisasi sekaligus menjadi penting.” Skripsi dan tesis saya yang keduanya mengangkat topik tentang budaya dalam aspek psikologisnya, dan pengalaman dalam lingkungan industri/organisasi telah membuktikan hal tersebut.
Saya pikir, belajar memang perlu seumur hidup. Salah satu atasan saya (Human Resources Manager) pernah berkata, “One at a time, Dear. One at a time …”
Berapa banyak psikolog, tenaga pengajar, pemimpin organisasi, serta masyarakat umum Indonesia yang turut menyadari pentingnya hal-hal di atas, lalu mengambil pilihan-pilihan yang tepat dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam konteks yang melibatkan kepentingan orang banyak? Mungkin Anda bisa berbagi fakta di lapangan? Saya akan senang bila mendapatkan kesempatan untuk berdiskusi dengan Anda.
Motivasi saya menuliskan semua ini hanya satu, yaitu mengajak Anda ikut belajar dan berbagi bersama. Yuk?
Terima kasih Anda sudah membaca tulisan ini.
Misalnya, suatu interpretasi hasil psikotes yang dilakukan oleh psikolog untuk tujuan rekrutmen, promosi/mutasi, pelatihan, atau pengembangan organisasi lainnya bisa mengubah langkah hidup seseorang atau suatu perusahaan dan negara (diketahui bahwa pemerintah Indonesia menempatkan para psikolog dalam jajaran pengambil keputusan untuk menentukan apakah seseorang layak memegang senjata atau tidak). Dengan demikian, unsur legalitas dan profesionalitas seorang psikolog sangat penting, sehingga perlu dijaga dan dipelihara dengan meningkatkan kompetensi yang dimiliki secara berkelanjutan melalui pembelajaran seumur hidup, baik dengan membaca buku-buku atau jurnal-jurnal terkini sesuai dengan bidang profesinya, atau mengikuti jalur sertifikasi profesi, studi lanjutan, serta pengalaman praktik psikologi sehari-hari secara tepat.
Peribahasa Indonesia mengatakan: “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Kurang profesionalnya seorang psikolog dalam praktik yang dijalankannya sehari-hari, selain merusak citra dirinya, dapat pula merambat kepada citra profesi psikolog, universitas tempat ia diluluskan, institusi yang mengeluarkan izin praktik, kolega yang berkerja-sama dengan dirinya, perusahaan yang telah memilihnya sebagai tenaga profesional, bahkan orangtua yang telah mendidiknya dari ia lahir. Berlebihan? Menurut saya, sama sekali tidak. Pilihan-pilihan tersebut akan selalu ada dan tanggung jawab terbesar atas pilihan yang diambil selalu ditujukan kepada Sang Pencipta. Namun tentu, Anda boleh tidak setuju.
Setelah lulus program Magister Profesi Psikologi (Industri & Organisasi) dan program Certified Human Resources Professional dari Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta pun, saya sadari hal-hal yang perlu saya pelajari masih sangat banyak, bila memang berharap diri dapat memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat terkait pengembangan SDM dan industri/organisasi Indonesia. Saya memang senang membaca, namun sekarang menjadi kecanduan buku-buku ilmiah. Ditambah lagi, salah seorang dosen Psikologi Budaya saya mengatakan, “Seringkali, yang memastikan bahwa suatu perencanaan organisasi berhasil adalah budaya orang-orang di dalamnya, sehingga pemahaman tentang budaya organisasi, baik pemimpin dan karyawan, menjadi prasyarat. Tidak ada budaya yang benar/salah, baik/buruk, yang terpenting adalah bagaimana penyesuaian diri individu bila memilih untuk berada dalam suatu lingkungan budaya tertentu. Terkait dengan hal ini, kualitas interaksi/komunikasi dengan orang-orang di dalam organisasi sekaligus menjadi penting.” Skripsi dan tesis saya yang keduanya mengangkat topik tentang budaya dalam aspek psikologisnya, dan pengalaman dalam lingkungan industri/organisasi telah membuktikan hal tersebut.
Saya pikir, belajar memang perlu seumur hidup. Salah satu atasan saya (Human Resources Manager) pernah berkata, “One at a time, Dear. One at a time …”
Berapa banyak psikolog, tenaga pengajar, pemimpin organisasi, serta masyarakat umum Indonesia yang turut menyadari pentingnya hal-hal di atas, lalu mengambil pilihan-pilihan yang tepat dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam konteks yang melibatkan kepentingan orang banyak? Mungkin Anda bisa berbagi fakta di lapangan? Saya akan senang bila mendapatkan kesempatan untuk berdiskusi dengan Anda.
Motivasi saya menuliskan semua ini hanya satu, yaitu mengajak Anda ikut belajar dan berbagi bersama. Yuk?
Terima kasih Anda sudah membaca tulisan ini.
0 komentar:
Posting Komentar