Hidup adalah pilihan. Ketika suatu waktu saya sadari bahwa manusia bisa memilih hanya karena diberikan kesempatan oleh Sang Pencipta, maka kebebasan untuk memilih secara nyata disertai dengan tanggung jawab atas pilihan-pilihan yang telah/akan diri tentukan kepada Sang Pencipta. Bagi saya, kesempatan sesungguhnya adalah waktu dan tempat, yang sekaligus menjadi batasan manusia dalam menentukan pilihan-pilihan. Waktu tidak pernah kembali. Manusia juga tidak bisa berada di dua buah tempat sekaligus. Selama manusia masih bernapas, pilihan-pilihan akan tetap selalu ada, menunggu untuk dipilih. Singkatnya, setiap pilihan akan mendatangkan kesempatan lain untuk memilih. Beda pilihan, beda cerita, beda pilihan berikutnya. Itu yang saya yakini.
Keputusan besar pertama saya dalam hidup diambil saat duduk di bangku SMA kelas tiga jurusan ilmu pengetahuan alam (IPA) dengan memilih fakultas psikologi sebagai jenjang pendidikan selanjutnya. Berganti haluan untuk mempelajari ilmu pengetahuan sosial (dalam hal ini psikologi) membuat sebagian teman dan guru saya bertanya-tanya, bahkan menyayangkan dengan beranggapan bahwa bisa masuk dan belajar di jurusan IPA adalah suatu kelebihan terkait kapasitas otak yang saya miliki. Rahasia kecil saya saat duduk di bangku kelas dua adalah saya memang belum menentukan pilihan jenjang pendidikan saya selanjutnya, bahkan belum memikirkannya dengan saksama, sehingga saya menerima perjalanan belajar di jurusan IPA dengan alasan-alasan: (1) sesuai dengan standar sekolah saat itu memang nilai mata pelajaran IPA saya mencukupi, sementara siapa saja boleh memilih jurusan IPS, (2) sistem pendidikan ketika itu membatasi pilihan-pilihan murid-murid jurusan IPS, yang belum tentu bisa memilih jurusan IPA untuk jenjang kuliah di universitas-universitas tertentu, dan (3) nilai tertinggi saya untuk mata pelajaran akuntansi adalah 69 meskipun sudah belajar sedemikian rupa hingga subuh, berdiskusi dengan teman dan mengerjakan berbagai soal latihan setiap akan menghadapi ulangan, yang disadari belakangan ketika itu saya tidak berminat terhadap bidang akuntansi (yang bagi saya definisinya adalah ilmu pencatatan yang rumit dan detail berkaitan dengan nilai uang yang diperoleh dan nilai uang yang dikeluarkan), namun mungkin juga karena saat itu saya tidak menggunakan kapasitas otak saya secara optimal untuk mencoba memahami lebih dalam bidang tersebut. Jadi, secara tidak langsung saya menghindari jurusan IPS karena memang "hati saya" tidak untuk menguasai bidang akuntansi.
Perlu diakui pula, saat itu pemikiran saya masih sempit dan menganggap diri seorang bocah perempuan yang tugas utamanya hanyalah belajar, seperti yang selalu didengungkan oleh ayah saya sepanjang usia saya bersekolah. Walaupun nilai-nilai rapor cukup memuaskan, saat itu pun saya tidak pernah memikirkan sehingga tentu belum mengerti mengapa sistem pendidikan di sekolah menengah memasukkan begitu banyak mata pelajaran dan menggunakan angka enam untuk menunjukkan bahwa seorang murid cukup menguasai mata pelajaran tersebut, sampai saya menjalani masa studi psikologi dan memahami tujuan-tujuan pengukuran prestasi di sekolah/universitas, yang salah satunya adalah untuk pengembangan diri murid di sekolah. Namun sayangnya, meskipun setiap hari saya melakukan tugas-tugas sebagai seorang pelajar sekolah hingga mahasiswa Strata Satu (S1), pada kenyataannya saya masih belum juga memahami "makna belajar" itu sendiri, sampai saya menjalani dunia kerja dan menyadari betapa pentingnya semua ilmu pengetahuan dan pengalaman yang sudah diberikan oleh para guru/dosen/praktisi/rekan belajar untuk diterima dan dipahami dengan sungguh-sungguh agar bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan dibagikan kepada orang lain demi pengembangan manusia pada masa sekarang dan yang akan datang.
Semakin banyak dan mendalam manusia belajar, semakin besar pula tanggung jawab profesional yang dimilikinya. Sekolah dan universitas bukan hanya tempat untuk mendapatkan gelar dengan nilai-nilai memuaskan, melainkan kesempatan untuk memiliki pengalaman belajar menjadi profesional, sehingga ketika terjun dalam dunia kerja atau kehidupan sehari-hari dapat mempraktikkannya secara tepat. Saat saya menjalani masa magang sebagai mahasiswa Magister Profesi Psikologi Industri dan Organisasi di salah satu biro konsultan SDM, manajemen, dan teknologi di Jakarta, salah satu praktisi mengatakan, “Angka hasil pengetesan psikologis bisa dengan mudah kita hitung dengan memahami teori dan metode statistik, cara menggunakan dan norma setiap alat ukur, namun yang terpenting adalah angka tersebut berbicara apa. Kesimpulan apa yang bisa kita dapatkan dari angka-angka tersebut? Lalu, interpretasinya? Apa yang bisa kita lakukan selanjutnya?” Pada tahap akhir, tentu saja pilihan untuk memupuk kemauan dan keberanian untuk mengambil langkah-langkah profesional selanjutnya kembali pada diri sendiri. Toh, hati nurani merupakan salah satu alarm alami yang akan berbunyi paling keras ketika manusia mendapati adanya kemungkinan terjadinya pelanggaran profesionalisme, baik yang dilakukan oleh diri ataupun orang-orang di sekitarnya.
Pada tingkat sekolah menengah, kepada teman, guru, dan orangtua yang bertanya-tanya saya hanya menjelaskan fakta bahwa alasan saya memilih fakultas psikologi karena saya hendak mengenali diri saya melalui pembelajaran yang lebih tentang perilaku manusia. Pengalaman belajar semasa pendidikan Strata Dua (S2) telah membuat saya menyadari bahwa alasan tersebut selamanya akan menjadi alasan yang egois jika saya hanya terus-menerus belajar untuk kepentingan diri saya sendiri. Terutama ketika saya menyadari adanya fakta lain bahwa semua bidang ilmu pengetahuan mempelajari tentang manusia, hanya saja dari perspektifnya masing-masing dan fokus pada aspek tertentu dalam kehidupan manusia, bahkan akuntansi pun kini menjadi bidang yang menarik. Bidang psikologi begitu luas dan dibagi dalam cabang-cabang yang lebih spesifik lagi. Sederhana, karena manusia tidak akan memiliki cukup waktu dan tempat untuk belajar memahami segala sesuatunya meskipun memiliki keinginan yang besar, sehingga manusia pada akhirnya memang perlu menguasai suatu bidang secara spesifik dan keperluan untuk memilih suatu bidang spesifik kembali datang.
Baru ketika kuliah, saya sadari bahwa berbagai variasi mata pelajaran di sekolah sebetulnya memberikan kesempatan kepada masing-masing murid untuk memilih bidang yang disukainya, sehingga akan lebih terdorong untuk menguasainya pada jenjang pendidikan berikutnya, sama seperti ketika seseorang memilih suatu bidang pekerjaan yang memang diminatinya, ia lebih terdorong untuk melakukan pekerjaan tersebut sepenuh pikiran dan hati, memikirkan dan melakukan pengembangan-pengembangan diri dan bidang terkait secara lebih konsisten demi pencapaian-pencapaian yang lebih besar di luar dirinya. Penghargaan (kepuasan batin, tidak hanya uang semata) terhadap apa yang sudah dilakukan akan datang dengan sendirinya, seperti yang pernah dikatakan oleh salah seorang dosen mata kuliah Konstruksi Tes saya.
Sekarang, mengapa sekumpulan manusia memilih menjadi psikolog, bukan profesi lainnya? Sebagai manusia biasa pada umumnya, saya berharap dapat memberikan kontribusi yang berarti kepada masyarakat, khususnya Indonesia, dengan telah diberikan kesempatan oleh Sang Pencipta, sebagai wujud pertanggung-jawaban. Terdengar idealis, namun salah seorang praktisi SDM (atasan saya ketika magang di sebuah perusahaan consumer goods di divisi Corporate Human Resources Management) menyampaikan, “Dalam hidup ini manusia memang mengejar hal-hal yang ideal, sehingga membuat hidupnya bermakna. Kalau tidak, untuk apa manusia hidup?” Saya setuju.
Saya akhirnya memilih bidang kekhususan Psikologi Industri dan Organisasi pun, karena menyadari bahwa saya tidak akan pernah tahu berapa lama saya memiliki kesempatan untuk berkontribusi, sehingga saya memilih untuk menjadi profesional dalam melakukan layanan psikologi di organisasi (mencakup perusahaan, institusi, negara; dengan definisi organisasi adalah sekumpulan manusia yang secara sukarela memiliki visi yang sama dan mencapainya melalui misi yang sama), sehingga akhirnya bisa menawarkan berbagai alternatif solusi yang tepat untuk menunjang peningkatan kinerja organisasi tersebut. Misalnya, melalui pengembangan organisasi (organizational development, disingkat "OD"; diharapkan apabila aspek-aspek sistem kerja suatu organisasi diukur, ditelaah, disusun, diterapkan, dijalankan, dan dikembangkan dengan tepat, maka orang-orang di dalamnya (shareholders, manajemen, dan karyawan) secara bersama-sama (alias "grosiran") akan mendapatkan keuntungan darinya, baik secara psikologis, fisik, dan finansial.
Lalu, apa ciri khas para profesional dari bidang psikologi industri dan organisasi dalam praktik pengembangan organisasi? Sebagai psikolog, pola pikir (mindset) biasanya berfokus pada kesejahteraan psikologis (psychological well-being) manusia di dalam organisasi. Namun, dalam pelaksanaannya di lapangan, para psikolog industri dan organisasi tentu perlu banyak berdiskusi dan bekerja sama dengan orang-orang di dalam organisasi yang berasal dari berbagai latar pendidikan dan memiliki pengalaman bidang yang berbeda-beda. Kata pepatah lama, "persamaan mempererat, perbedaan memperkaya".
Semoga dengan semakin banyaknya kesempatan untuk bekerja sama (termasuk antara akademisi dan praktisi) di lingkungan industri/organisasi Indonesia, semakin terwujud pula kesempatan untuk menciptakan SDM dan industri/organisasi Indonesia yang memiliki daya saing pada taraf internasional.
Terima kasih Anda sudah membaca tulisan ini.
Keputusan besar pertama saya dalam hidup diambil saat duduk di bangku SMA kelas tiga jurusan ilmu pengetahuan alam (IPA) dengan memilih fakultas psikologi sebagai jenjang pendidikan selanjutnya. Berganti haluan untuk mempelajari ilmu pengetahuan sosial (dalam hal ini psikologi) membuat sebagian teman dan guru saya bertanya-tanya, bahkan menyayangkan dengan beranggapan bahwa bisa masuk dan belajar di jurusan IPA adalah suatu kelebihan terkait kapasitas otak yang saya miliki. Rahasia kecil saya saat duduk di bangku kelas dua adalah saya memang belum menentukan pilihan jenjang pendidikan saya selanjutnya, bahkan belum memikirkannya dengan saksama, sehingga saya menerima perjalanan belajar di jurusan IPA dengan alasan-alasan: (1) sesuai dengan standar sekolah saat itu memang nilai mata pelajaran IPA saya mencukupi, sementara siapa saja boleh memilih jurusan IPS, (2) sistem pendidikan ketika itu membatasi pilihan-pilihan murid-murid jurusan IPS, yang belum tentu bisa memilih jurusan IPA untuk jenjang kuliah di universitas-universitas tertentu, dan (3) nilai tertinggi saya untuk mata pelajaran akuntansi adalah 69 meskipun sudah belajar sedemikian rupa hingga subuh, berdiskusi dengan teman dan mengerjakan berbagai soal latihan setiap akan menghadapi ulangan, yang disadari belakangan ketika itu saya tidak berminat terhadap bidang akuntansi (yang bagi saya definisinya adalah ilmu pencatatan yang rumit dan detail berkaitan dengan nilai uang yang diperoleh dan nilai uang yang dikeluarkan), namun mungkin juga karena saat itu saya tidak menggunakan kapasitas otak saya secara optimal untuk mencoba memahami lebih dalam bidang tersebut. Jadi, secara tidak langsung saya menghindari jurusan IPS karena memang "hati saya" tidak untuk menguasai bidang akuntansi.
Perlu diakui pula, saat itu pemikiran saya masih sempit dan menganggap diri seorang bocah perempuan yang tugas utamanya hanyalah belajar, seperti yang selalu didengungkan oleh ayah saya sepanjang usia saya bersekolah. Walaupun nilai-nilai rapor cukup memuaskan, saat itu pun saya tidak pernah memikirkan sehingga tentu belum mengerti mengapa sistem pendidikan di sekolah menengah memasukkan begitu banyak mata pelajaran dan menggunakan angka enam untuk menunjukkan bahwa seorang murid cukup menguasai mata pelajaran tersebut, sampai saya menjalani masa studi psikologi dan memahami tujuan-tujuan pengukuran prestasi di sekolah/universitas, yang salah satunya adalah untuk pengembangan diri murid di sekolah. Namun sayangnya, meskipun setiap hari saya melakukan tugas-tugas sebagai seorang pelajar sekolah hingga mahasiswa Strata Satu (S1), pada kenyataannya saya masih belum juga memahami "makna belajar" itu sendiri, sampai saya menjalani dunia kerja dan menyadari betapa pentingnya semua ilmu pengetahuan dan pengalaman yang sudah diberikan oleh para guru/dosen/praktisi/rekan belajar untuk diterima dan dipahami dengan sungguh-sungguh agar bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan dibagikan kepada orang lain demi pengembangan manusia pada masa sekarang dan yang akan datang.
Semakin banyak dan mendalam manusia belajar, semakin besar pula tanggung jawab profesional yang dimilikinya. Sekolah dan universitas bukan hanya tempat untuk mendapatkan gelar dengan nilai-nilai memuaskan, melainkan kesempatan untuk memiliki pengalaman belajar menjadi profesional, sehingga ketika terjun dalam dunia kerja atau kehidupan sehari-hari dapat mempraktikkannya secara tepat. Saat saya menjalani masa magang sebagai mahasiswa Magister Profesi Psikologi Industri dan Organisasi di salah satu biro konsultan SDM, manajemen, dan teknologi di Jakarta, salah satu praktisi mengatakan, “Angka hasil pengetesan psikologis bisa dengan mudah kita hitung dengan memahami teori dan metode statistik, cara menggunakan dan norma setiap alat ukur, namun yang terpenting adalah angka tersebut berbicara apa. Kesimpulan apa yang bisa kita dapatkan dari angka-angka tersebut? Lalu, interpretasinya? Apa yang bisa kita lakukan selanjutnya?” Pada tahap akhir, tentu saja pilihan untuk memupuk kemauan dan keberanian untuk mengambil langkah-langkah profesional selanjutnya kembali pada diri sendiri. Toh, hati nurani merupakan salah satu alarm alami yang akan berbunyi paling keras ketika manusia mendapati adanya kemungkinan terjadinya pelanggaran profesionalisme, baik yang dilakukan oleh diri ataupun orang-orang di sekitarnya.
Pada tingkat sekolah menengah, kepada teman, guru, dan orangtua yang bertanya-tanya saya hanya menjelaskan fakta bahwa alasan saya memilih fakultas psikologi karena saya hendak mengenali diri saya melalui pembelajaran yang lebih tentang perilaku manusia. Pengalaman belajar semasa pendidikan Strata Dua (S2) telah membuat saya menyadari bahwa alasan tersebut selamanya akan menjadi alasan yang egois jika saya hanya terus-menerus belajar untuk kepentingan diri saya sendiri. Terutama ketika saya menyadari adanya fakta lain bahwa semua bidang ilmu pengetahuan mempelajari tentang manusia, hanya saja dari perspektifnya masing-masing dan fokus pada aspek tertentu dalam kehidupan manusia, bahkan akuntansi pun kini menjadi bidang yang menarik. Bidang psikologi begitu luas dan dibagi dalam cabang-cabang yang lebih spesifik lagi. Sederhana, karena manusia tidak akan memiliki cukup waktu dan tempat untuk belajar memahami segala sesuatunya meskipun memiliki keinginan yang besar, sehingga manusia pada akhirnya memang perlu menguasai suatu bidang secara spesifik dan keperluan untuk memilih suatu bidang spesifik kembali datang.
Baru ketika kuliah, saya sadari bahwa berbagai variasi mata pelajaran di sekolah sebetulnya memberikan kesempatan kepada masing-masing murid untuk memilih bidang yang disukainya, sehingga akan lebih terdorong untuk menguasainya pada jenjang pendidikan berikutnya, sama seperti ketika seseorang memilih suatu bidang pekerjaan yang memang diminatinya, ia lebih terdorong untuk melakukan pekerjaan tersebut sepenuh pikiran dan hati, memikirkan dan melakukan pengembangan-pengembangan diri dan bidang terkait secara lebih konsisten demi pencapaian-pencapaian yang lebih besar di luar dirinya. Penghargaan (kepuasan batin, tidak hanya uang semata) terhadap apa yang sudah dilakukan akan datang dengan sendirinya, seperti yang pernah dikatakan oleh salah seorang dosen mata kuliah Konstruksi Tes saya.
Sekarang, mengapa sekumpulan manusia memilih menjadi psikolog, bukan profesi lainnya? Sebagai manusia biasa pada umumnya, saya berharap dapat memberikan kontribusi yang berarti kepada masyarakat, khususnya Indonesia, dengan telah diberikan kesempatan oleh Sang Pencipta, sebagai wujud pertanggung-jawaban. Terdengar idealis, namun salah seorang praktisi SDM (atasan saya ketika magang di sebuah perusahaan consumer goods di divisi Corporate Human Resources Management) menyampaikan, “Dalam hidup ini manusia memang mengejar hal-hal yang ideal, sehingga membuat hidupnya bermakna. Kalau tidak, untuk apa manusia hidup?” Saya setuju.
Saya akhirnya memilih bidang kekhususan Psikologi Industri dan Organisasi pun, karena menyadari bahwa saya tidak akan pernah tahu berapa lama saya memiliki kesempatan untuk berkontribusi, sehingga saya memilih untuk menjadi profesional dalam melakukan layanan psikologi di organisasi (mencakup perusahaan, institusi, negara; dengan definisi organisasi adalah sekumpulan manusia yang secara sukarela memiliki visi yang sama dan mencapainya melalui misi yang sama), sehingga akhirnya bisa menawarkan berbagai alternatif solusi yang tepat untuk menunjang peningkatan kinerja organisasi tersebut. Misalnya, melalui pengembangan organisasi (organizational development, disingkat "OD"; diharapkan apabila aspek-aspek sistem kerja suatu organisasi diukur, ditelaah, disusun, diterapkan, dijalankan, dan dikembangkan dengan tepat, maka orang-orang di dalamnya (shareholders, manajemen, dan karyawan) secara bersama-sama (alias "grosiran") akan mendapatkan keuntungan darinya, baik secara psikologis, fisik, dan finansial.
Lalu, apa ciri khas para profesional dari bidang psikologi industri dan organisasi dalam praktik pengembangan organisasi? Sebagai psikolog, pola pikir (mindset) biasanya berfokus pada kesejahteraan psikologis (psychological well-being) manusia di dalam organisasi. Namun, dalam pelaksanaannya di lapangan, para psikolog industri dan organisasi tentu perlu banyak berdiskusi dan bekerja sama dengan orang-orang di dalam organisasi yang berasal dari berbagai latar pendidikan dan memiliki pengalaman bidang yang berbeda-beda. Kata pepatah lama, "persamaan mempererat, perbedaan memperkaya".
Semoga dengan semakin banyaknya kesempatan untuk bekerja sama (termasuk antara akademisi dan praktisi) di lingkungan industri/organisasi Indonesia, semakin terwujud pula kesempatan untuk menciptakan SDM dan industri/organisasi Indonesia yang memiliki daya saing pada taraf internasional.
Terima kasih Anda sudah membaca tulisan ini.
0 komentar:
Posting Komentar