Bagaimanakah Cara Mengukur Kesiapan Organisasi Anda untuk Bergerak Strategis?

Selasa, 22 Desember 2009 · 0 komentar

Keberhasilan perencanaan strategis organisasi dan implementasinya memerlukan pemahaman sepenuhnya (pikiran dan hati) terkait tingkat adaptasi organisasi Anda terhadap proses yang baru. Bila organisasi Anda baru pertama kali hendak menelusuri perencanaan strategis, akan lebih bijak untuk mengukur kesiapan organisasi Anda sebelum memulai. Kunci keberhasilannya adalah memperkenalkan/menyampaikan perencanaan strategis organisasi pada waktu yang tepat.

Pada titik ini, kejujuran terhadap diri sendiri atas kesiapan organisasi sangat diperlukan. Perusahaan-perusahaan yang langsung melompat pada tahap perencanaan dengan berasumsi bahwa mereka ‘siap’ akan cenderung mengalami kegagalan pada pertengahan proses dan akhirnya merusak keseluruhan proses. Anda dapat menghindari hal ini bila bersikap jujur sepenuhnya ketika mengukur kesiapan organisasi Anda dengan menjawab SUDAH atau BELUM atas pernyataan-pernyataan kunci berikut ini:
  • Kami memiliki komitmen dan dukungan penuh dari puncak kepemimpinan organisasi, khususnya Chief Executive Officer (CEO), para pemegang manajemen kunci, dan jajaran direksi.
  • Kami memiliki komitmen untuk mengklarifikasi peran-peran dan harapan-harapan seluruh peserta yang terlibat dalam proses perencanaan, termasuk siapa yang akan berkontribusi dalam perencanaan dan siapa yang akan menjadi pengambil keputusan.
  • Kami bersikap terbuka terhadap pembelajaran dan tanggapan atas berbagai hal menyangkut organisasi (internal dan eksternal) untuk mengumpulkan informasi melalui penelitian oleh pihak di luar organisasi, sehingga kami tidak menyusun rencana di dalam ruang sempit organisasi.
  • Kami memiliki sebuah tim yang terdiri dari para pemikir yang mampu melihat gambaran besar, para ahli di bidang tertentu, dan seorang manajer perencanaan strategis.
  • Manajer tingkat atas kami berkeinginan untuk dilibatkan dan mendorong partisipasi jajaran direksi, sehingga semua pihak mempunyai perasaan turut memiliki perencanaan dan didorong semangatnya oleh proses yang berlangsung.
  • Kami percaya bahwa kami telah mengumpulkan komitmen sumber daya organisasi yang cukup untuk menyelesaikan proses perencanaan sesuai dengan yang telah disusun, seperti waktu yang miliki oleh para karyawan dan jajaran direksi, biaya yang digunakan dalam proses dan implementasi.
  • Seluruh anggota organisasi kami memahami tujuan perencanaan karena mereka menyadari hal-hal yang sedang berlangsung pada saat ini. Kami memiliki konsesus tentang hasil-hasil yang diharapkan dari proses perencanaan.
  • Kami memiliki suatu budaya yang terbuka untuk melihat hal-hal di luar keadaan pada saat ini, untuk menemukan cara-cara baru dalam melakukan berbagai hal; suatu keinginan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kuat/rumit, menghadapi pilihan-pilihan sulit, dan membuat keputusan-keputusan yang terbaik bagi klien-klien kami.
  • Kami ingin menumbuhkan organisasi kami.
Idealnya, Anda ingin menjawab seluruh pernyataan di atas dengan “sudah”, namun tentu saja tidak mungkin. Secara mendasar, pertanyaan utama yang perlu dijawab adalah: Apakah Anda berkeinginan untuk tumbuh? Jika organisasi Anda tidak ingin bertumbuh, maka perencanaan strategis tidak akan efektif.

Pada tahap akhir pengukuran, putuskan apakah perencanaan strategis merupakan langkah selanjutnya atau bukan. Jika keputusan Anda adalah ‘bukan’, maka buatlah rencana tindakan cepat untuk mengatasi permasalahan-permasalahan dengan mengacu pada pernyataan-pernyataan di atas yang telah Anda beri jawaban: BELUM. Jika keputusan Anda adalah ‘langkah selanjutnya’, maka Anda seharusnya merasa percaya diri bahwa organisasi Anda dapat bergerak menuju proses perencanaan, kecuali masih adanya berbagai situasi dan kondisi yang mungkin muncul pada masa yang akan datang.

Jika Anda sedang berada di tengah proses perencanaan, maka Anda bisa menelaah kembali hal-hal berikut di bawah ini untuk memastikan bahwa iklim organisasi Anda pada saat ini sudah tepat untuk melakukan perencanaan:
  • Tidak ada keputusan yang berdampak besar bagi organisasi setidaknya dalam enam bulan yang akan datang (misalnya, merger, perubahan-perubahan manajemen, dll.),
  • Tidak ada konflik yang serius di antara pemain-pemain kunci organisasi,
  • Adanya komitmen penuh dari manajemen tingkat atas,
  • Para karyawan memahami tujuan perencanaan,
  • Adanya sumber daya yang mencukupi (waktu karyawan dan biaya),
  • Organisasi telah berdiri setidaknya selama beberapa tahun,
  • Adanya komitmen untuk mengimplementasikan strategi-strategi kunci,
  • Adanya keberhasilan dalam mengidentifikasi hasil-hasil dari proses yang dilakukan,
  • Adanya suatu iklim organisasi yang menginspirasi pemikiran untuk maju serta menghargai kreativitas, serta
  • Adanya kesepakatan dalam penggunaan istilah/bahasa dan kerangka waktu pelaksanaan.
Referensi:
  • Olsen, E. (2007). Strategic planning for dummies. Indianapolis: Wiley Publishing, Inc.
Terima kasih Anda sudah membaca tulisan ini.

Perencanaan Strategis Organisasi: Penting?

Senin, 21 Desember 2009 · 0 komentar

Fakta menunjukkan bahwa 90 persen dari bisnis/industri yang ada dijalankan tanpa adanya suatu perencanaan (Olsen, 2007), berharap sistem navigasi otomatis akan berhasil menunjukkan jalan bagi pengembangan organisasi. Perencanaan strategis sering dianggap sebagai suatu perangkat yang hanya bisa digunakan oleh bisnis yang besar. Pada kenyataannya, perencanaan strategis merupakan suatu konsep bisnis yang bermanfaat bagi seluruh bisnis dan organisasi, tanpa dibatasi oleh ukuran atau pun sumber daya yang dimilikinya. Memiliki rencana strategis merupakan cara terbaik untuk memberikan fokus dan arah bagi organisasi. Suatu rencana strategis membantu organisasi untuk meniadakan ketidak-pastian dan memungkinkan organisasi untuk membentuk masa depannya.

Perencanaan strategis melibatkan berbagai pengambilan keputusan dalam keseharian organisasi dan mengkaitkannya dengan suatu proses yang terintegrasi. Tujuan perencanaan strategis di antaranya:
  • untuk menjadikan organisasi lebih efektif dan efisien,
  • untuk meningkatkan keuntungan finansial organisasi,
  • untuk memberikan dampak yang lebih besar bagi komunitas organisasi, serta
  • untuk menjadikan organisasi dari ‘baik’ menjadi ‘luar biasa’.
Tidak ada manusia yang bisa memprediksikan masa yang akan datang. Hanya saja, jika Anda tidak mengubah apa pun, maka masa depan tidak akan berbeda dengan masa lalu. Rencana strategis sebagai suatu perangkat yang tidak kedaluwarsa dapat mendorong pertumbuhan organisasi dan memberikan dampak terhadap masa depan (keuntungan) organisasi Anda. Tidak ada satu model strategis yang cocok untuk seluruh organisasi, namun proses perencanaan mencakup elemen-elemen dasar yang dapat digunakan oleh seluruh bisnis untuk mengeksplorasi visi, tujuan-tujuan, dan langkah-langkah selanjutnya dari suatu rencana strategis yang efektif.
Suatu rencana strategis yang baik meliputi hal-hal berikut:
  • mencerminkan nilai-nilai suatu organisasi,
  • menginspirasi perubahan dan perbaikan pada produk-produk dan pasar-pasar yang dituju,
  • secara jelas mendefinisikan kriteria untuk mencapai kesuksesan, dan
  • membantu semua orang dalam pengambilan keputusan sehari-hari.
Para pemilik bisnis, pemimpin, dan manajer yang efektif akan mengantisipasi hal-hal yang mungkin dihadapi pada masa yang akan datang dan menggunakan rencana-rencana strategis untuk memimpin ‘permainan’. Oleh karena itu, dengan mengetahui fakta bahwa organisasi lain dapat menginvasi pasar Anda, ‘aneh’ bila kemudian menghindari perencanaan strategis karena menganggapnya kompleks, membutuhkan biaya dan waktu yang besar. Perencanaan strategis tidak harus misterius, ribet (tidak praktis), atau menghabiskan waktu. Dalam kenyataannya, perencanaan strategis perlu cepat, sederhana, dan mudah dilaksanakan. Perencanaan strategis bukan sekedar menjalankan daftar tindakan yang perlu Anda lakukan dan lebih merupakan keperluan untuk menciptakan suatu budaya berpikir strategis, sehingga perencanaan strategis Anda tidak menjadi suatu ‘aksi mundur’ tahunan, melainkan bagian dari pengambilan keputusan sehari-hari.



Strategi berarti secara sadar memilih untuk menciptakan kejelasan arah organisasi terkait apa yang terjadi dalam suatu lingkungan yang dinamis. Dengan pengetahuan ini, Anda akan berada pada posisi yang lebih baik untuk secara proaktif menanggapi lingkungan yang berubah-ubah. Suatu strategi dikatakan baik apabila:
  • menciptakan proporsi nilai yang unik dibandingkan dengan para kompetitor Anda,
  • dieksekusi melalui tindakan-tindakan operasional yang menyajikan nilai yang berbeda dan dibuat secara khusus untuk para pelanggan,
  • mengidentifikasi secara jelas hal-hal (produk-produk dan layanan-layanan) yang diperlukan dan mengklarifikasi hal-hal yang tidak untuk dilakukan,
  • memfokuskan pada aktivitas-aktivitas yang cocok dan mendukung satu dengan lainnya, dan
  • mendorong peningkatan berkelanjutan di dalam organisasi dan menggerakkan organisasi menuju visinya.
Dr. Michael Porter dalam 2006 World Business Forum di Chicago menyampaikan bahwa strategi bukanlah:(1) peningkatan best practice, (2) eksekusi, (3) aspirasi-aspirasi, (4) suatu visi, (5) pembelajaran, (6) kecerdasan/kesigapan, (7) fleksibilitas, (8) inovasi, (9) internet (atau teknologi lainnya), (10) pemotongan jumlah karyawan (downsizing), (11) restrukturisasi, (12) merger/konsolidasi, (13) aliansi-aliansi/rekanan, atau (14) outsourcing. Statistik terkait perencanaan strategis dari Balanced Scorecard Collaborative (kerangka pemikiran, sistem pengukuran dan manajemen yang diperkenalkan oleh Robert Kaplan dan David Norton pada tahun 1900-an) menunjukkan bahwa:
  • 95 persen ‘karyawan pada umumnya’ tidak memahami strategi organisasinya.
  • 90 persen organisasi gagal mengeksekusi strategi-strateginya dengan sukses.
  • 86 persen tim-tim eksekutif organisasi menghabiskan kurang dari satu jam setiap bulannya untuk mendiskusikan strategi.
  • 60 persen organisasi tidak menghubungkan strategi dengan penyusunan anggaran belanja.
Kesimpulannya, perencanaan strategis penting bagi keberlangsungan bisnis Anda.

Rencana strategis merupakan peta yang disusun untuk menggambarkan bagaimana organisasi akan mengeksekusi strategi yang dipilih, di mana organisasi akan berada pada satu tahun (atau lebih) yang akan datang, dan bagaimana organisasi akan sampai di sana. Biasanya suatu rencana berlaku bagi organisasi secara keseluruhan atau difokuskan pada fungsi utama organisasi, misalnya suatu divisi atau departemen. Rencana strategis menjadi suatu perangkat manajemen yang bertujuan membantu suatu organisasi untuk melakukan pekerjaannya dengan lebih baik, karena suatu rencana memfokuskan pada energi, sumber daya-sumber daya, dan waktu yang dimiliki oleh seluruh anggota organisasi dalam menuju arah yang sama.



Perlu diingat, rencana strategis dan rencana bisnis memiliki konsep yang berbeda. Rencana strategis ada untuk bisnis-bisnis yang sudah berdiri dan para pemilik bisnis yang serius dengan pertumbuhan organisasinya. Rencana strategis membantu organisasi membangun daya saingnya, mengkomunikasikan strategi kepada anggotanya, memprioritaskan kebutuhan-kebutuhan finansial, serta menyajikan fokus dan arah untuk bergerak dari rencana menuju tindakan. Di sisi lain, rencana bisnis ada untuk bisnis-bisnis, proyek-proyek, atau para wirausahawan baru yang serius untuk memulai suatu bisnis. Rencana bisnis membantu para wirausahawan mendefinisikan tujuan bisnis, merencanakan sumber daya manusia dan kebutuhan operasional, berperan penting bila mencari pendanaan, mengukur kesempatan-kesempatan bisnis, serta menyajikan struktur bagi ide-ide.



Untuk dapat menciptakan rencana strategis, Anda perlu melalui proses perencanaan strategis, yang mencakup berbagai aktivitas atau langkah utama, yakni dengan menjawab tiga pertanyaan berikut:
  • Di mana kita pada saat ini? Pertanyaan ini mengacu pada telaah strategis, misi, dan nilai-nilai organisasi.

  • Ke mana kita akan menuju? Pertanyaan ini mengarah pada visi dan daya saing organisasi yang berkelanjutan.

  • Bagaimana cara kita akan sampai pada tujuan? Pertanyaan ini mencakup berbagai metode, seperti menetapkan pencapaian strategis dan tujuan-tujuan organisasi, menyusun strategi-strategi, menentukan prioritas dan tindakan yang perlu dilakukan, menggunakan kriteria dan melakukan pengukuran/penilaian (misalnya scorecard), serta memastikan eksekusi perencanaan organisasi.

  • Penamaan dan urutan pelaksanaan aktivitas/langkah ini bisa beraneka-ragam, serta seringkali mencakup penggunaan berbagai istilah kunci. Cara sempurna untuk menjalankan proses perencanaan strategis sesungguhnya tidak ada, namun langkah-langkah ini bisa dimodifikasi sesuai dengan budaya dan ketepatan waktu pelaksanaan yang dimiliki oleh organisasi.



    Dalam membangun organisasi yang sehat, sistem trial and error sudah ditinggalkan, khususnya di negara-negara maju. Meskipun trial and error merupakan bagian alami dalam proses mengenali produk atau cara berpikir yang baru, namun permasalahan yang ditimbulkan kemudian terlampau besar untuk dapat ditanggulangi atau diterima, termasuk oleh para pemangku kepentingan di dalam organisasi. Hal ini juga diperparah oleh ketidak-sabaran para manajer organisasi, obsesi dengan perspektif-perspektif jangka pendek, serta kegagalan untuk memahami sepenuhnya pentingnya karakteristik strategi yang lebih mendalam dan menyeluruh, terutama dengan adanya berbagai perubahan yang terjadi terkait pemikiran, budaya, organisasi, dan pelaksanaan-pelaksanaan kegiatan di dalam organisasi yang mengikuti perubahan-perubahan tersebut.



    Referensi:
    • Olsen, E. (2007). Strategic planning for dummies. Indianapolis: Wiley Publishing, Inc.
    • Wilson, I. (2003). The subtle art of strategy: Organizational planning in uncertain times. Greenwood Press.
    Terima kasih Anda sudah membaca tulisan ini.

    Mengapa Pendidikan Psikologi?

    · 0 komentar

    Hidup adalah pilihan. Ketika suatu waktu saya sadari bahwa manusia bisa memilih hanya karena diberikan kesempatan oleh Sang Pencipta, maka kebebasan untuk memilih secara nyata disertai dengan tanggung jawab atas pilihan-pilihan yang telah/akan diri tentukan kepada Sang Pencipta. Bagi saya, kesempatan sesungguhnya adalah waktu dan tempat, yang sekaligus menjadi batasan manusia dalam menentukan pilihan-pilihan. Waktu tidak pernah kembali. Manusia juga tidak bisa berada di dua buah tempat sekaligus. Selama manusia masih bernapas, pilihan-pilihan akan tetap selalu ada, menunggu untuk dipilih. Singkatnya, setiap pilihan akan mendatangkan kesempatan lain untuk memilih. Beda pilihan, beda cerita, beda pilihan berikutnya. Itu yang saya yakini.

    Keputusan besar pertama saya dalam hidup diambil saat duduk di bangku SMA kelas tiga jurusan ilmu pengetahuan alam (IPA) dengan memilih fakultas psikologi sebagai jenjang pendidikan selanjutnya. Berganti haluan untuk mempelajari ilmu pengetahuan sosial (dalam hal ini psikologi) membuat sebagian teman dan guru saya bertanya-tanya, bahkan menyayangkan dengan beranggapan bahwa bisa masuk dan belajar di jurusan IPA adalah suatu kelebihan terkait kapasitas otak yang saya miliki. Rahasia kecil saya saat duduk di bangku kelas dua adalah saya memang belum menentukan pilihan jenjang pendidikan saya selanjutnya, bahkan belum memikirkannya dengan saksama, sehingga saya menerima perjalanan belajar di jurusan IPA dengan alasan-alasan: (1) sesuai dengan standar sekolah saat itu memang nilai mata pelajaran IPA saya mencukupi, sementara siapa saja boleh memilih jurusan IPS, (2) sistem pendidikan ketika itu membatasi pilihan-pilihan murid-murid jurusan IPS, yang belum tentu bisa memilih jurusan IPA untuk jenjang kuliah di universitas-universitas tertentu, dan (3) nilai tertinggi saya untuk mata pelajaran akuntansi adalah 69 meskipun sudah belajar sedemikian rupa hingga subuh, berdiskusi dengan teman dan mengerjakan berbagai soal latihan setiap akan menghadapi ulangan, yang disadari belakangan ketika itu saya tidak berminat terhadap bidang akuntansi (yang bagi saya definisinya adalah ilmu pencatatan yang rumit dan detail berkaitan dengan nilai uang yang diperoleh dan nilai uang yang dikeluarkan), namun mungkin juga karena saat itu saya tidak menggunakan kapasitas otak saya secara optimal untuk mencoba memahami lebih dalam bidang tersebut. Jadi, secara tidak langsung saya menghindari jurusan IPS karena memang "hati saya" tidak untuk menguasai bidang akuntansi.

    Perlu diakui pula, saat itu pemikiran saya masih sempit dan menganggap diri seorang bocah perempuan yang tugas utamanya hanyalah belajar, seperti yang selalu didengungkan oleh ayah saya sepanjang usia saya bersekolah. Walaupun nilai-nilai rapor cukup memuaskan, saat itu pun saya tidak pernah memikirkan sehingga tentu belum mengerti mengapa sistem pendidikan di sekolah menengah memasukkan begitu banyak mata pelajaran dan menggunakan angka enam untuk menunjukkan bahwa seorang murid cukup menguasai mata pelajaran tersebut, sampai saya menjalani masa studi psikologi dan memahami tujuan-tujuan pengukuran prestasi di sekolah/universitas, yang salah satunya adalah untuk pengembangan diri murid di sekolah. Namun sayangnya, meskipun setiap hari saya melakukan tugas-tugas sebagai seorang pelajar sekolah hingga mahasiswa Strata Satu (S1), pada kenyataannya saya masih belum juga memahami "makna belajar" itu sendiri, sampai saya menjalani dunia kerja dan menyadari betapa pentingnya semua ilmu pengetahuan dan pengalaman yang sudah diberikan oleh para guru/dosen/praktisi/rekan belajar untuk diterima dan dipahami dengan sungguh-sungguh agar bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan dibagikan kepada orang lain demi pengembangan manusia pada masa sekarang dan yang akan datang.

    Semakin banyak dan mendalam manusia belajar, semakin besar pula tanggung jawab profesional yang dimilikinya. Sekolah dan universitas bukan hanya tempat untuk mendapatkan gelar dengan nilai-nilai memuaskan, melainkan kesempatan untuk memiliki pengalaman belajar menjadi profesional, sehingga ketika terjun dalam dunia kerja atau kehidupan sehari-hari dapat mempraktikkannya secara tepat. Saat saya menjalani masa magang sebagai mahasiswa Magister Profesi Psikologi Industri dan Organisasi di salah satu biro konsultan SDM, manajemen, dan teknologi di Jakarta, salah satu praktisi mengatakan, “Angka hasil pengetesan psikologis bisa dengan mudah kita hitung dengan memahami teori dan metode statistik, cara menggunakan dan norma setiap alat ukur, namun yang terpenting adalah angka tersebut berbicara apa. Kesimpulan apa yang bisa kita dapatkan dari angka-angka tersebut? Lalu, interpretasinya? Apa yang bisa kita lakukan selanjutnya?” Pada tahap akhir, tentu saja pilihan untuk memupuk kemauan dan keberanian untuk mengambil langkah-langkah profesional selanjutnya kembali pada diri sendiri. Toh, hati nurani merupakan salah satu alarm alami yang akan berbunyi paling keras ketika manusia mendapati adanya kemungkinan terjadinya pelanggaran profesionalisme, baik yang dilakukan oleh diri ataupun orang-orang di sekitarnya.

    Pada tingkat sekolah menengah, kepada teman, guru, dan orangtua yang bertanya-tanya saya hanya menjelaskan fakta bahwa alasan saya memilih fakultas psikologi karena saya hendak mengenali diri saya melalui pembelajaran yang lebih tentang perilaku manusia. Pengalaman belajar semasa pendidikan Strata Dua (S2) telah membuat saya menyadari bahwa alasan tersebut selamanya akan menjadi alasan yang egois jika saya hanya terus-menerus belajar untuk kepentingan diri saya sendiri. Terutama ketika saya menyadari adanya fakta lain bahwa semua bidang ilmu pengetahuan mempelajari tentang manusia, hanya saja dari perspektifnya masing-masing dan fokus pada aspek tertentu dalam kehidupan manusia, bahkan akuntansi pun kini menjadi bidang yang menarik. Bidang psikologi begitu luas dan dibagi dalam cabang-cabang yang lebih spesifik lagi. Sederhana, karena manusia tidak akan memiliki cukup waktu dan tempat untuk belajar memahami segala sesuatunya meskipun memiliki keinginan yang besar, sehingga manusia pada akhirnya memang perlu menguasai suatu bidang secara spesifik dan keperluan untuk memilih suatu bidang spesifik kembali datang.

    Baru ketika kuliah, saya sadari bahwa berbagai variasi mata pelajaran di sekolah sebetulnya memberikan kesempatan kepada masing-masing murid untuk memilih bidang yang disukainya, sehingga akan lebih terdorong untuk menguasainya pada jenjang pendidikan berikutnya, sama seperti ketika seseorang memilih suatu bidang pekerjaan yang memang diminatinya, ia lebih terdorong untuk melakukan pekerjaan tersebut sepenuh pikiran dan hati, memikirkan dan melakukan pengembangan-pengembangan diri dan bidang terkait secara lebih konsisten demi pencapaian-pencapaian yang lebih besar di luar dirinya. Penghargaan (kepuasan batin, tidak hanya uang semata) terhadap apa yang sudah dilakukan akan datang dengan sendirinya, seperti yang pernah dikatakan oleh salah seorang dosen mata kuliah Konstruksi Tes saya.

    Sekarang, mengapa sekumpulan manusia memilih menjadi psikolog, bukan profesi lainnya? Sebagai manusia biasa pada umumnya, saya berharap dapat memberikan kontribusi yang berarti kepada masyarakat, khususnya Indonesia, dengan telah diberikan kesempatan oleh Sang Pencipta, sebagai wujud pertanggung-jawaban. Terdengar idealis, namun salah seorang praktisi SDM (atasan saya ketika magang di sebuah perusahaan consumer goods di divisi Corporate Human Resources Management) menyampaikan, “Dalam hidup ini manusia memang mengejar hal-hal yang ideal, sehingga membuat hidupnya bermakna. Kalau tidak, untuk apa manusia hidup?” Saya setuju.

    Saya akhirnya memilih bidang kekhususan Psikologi Industri dan Organisasi pun, karena menyadari bahwa saya tidak akan pernah tahu berapa lama saya memiliki kesempatan untuk berkontribusi, sehingga saya memilih untuk menjadi profesional dalam melakukan layanan psikologi di organisasi (mencakup perusahaan, institusi, negara; dengan definisi organisasi adalah sekumpulan manusia yang secara sukarela memiliki visi yang sama dan mencapainya melalui misi yang sama), sehingga akhirnya bisa menawarkan berbagai alternatif solusi yang tepat untuk menunjang peningkatan kinerja organisasi tersebut. Misalnya, melalui pengembangan organisasi (organizational development, disingkat "OD"; diharapkan apabila aspek-aspek sistem kerja suatu organisasi diukur, ditelaah, disusun, diterapkan, dijalankan, dan dikembangkan dengan tepat, maka orang-orang di dalamnya (shareholders, manajemen, dan karyawan) secara bersama-sama (alias "grosiran") akan mendapatkan keuntungan darinya, baik secara psikologis, fisik, dan finansial.

    Lalu, apa ciri khas para profesional dari bidang psikologi industri dan organisasi dalam praktik pengembangan organisasi? Sebagai psikolog, pola pikir (mindset) biasanya berfokus pada kesejahteraan psikologis (psychological well-being) manusia di dalam organisasi. Namun, dalam pelaksanaannya di lapangan, para psikolog industri dan organisasi tentu perlu banyak berdiskusi dan bekerja sama dengan orang-orang di dalam organisasi yang berasal dari berbagai latar pendidikan dan memiliki pengalaman bidang yang berbeda-beda. Kata pepatah lama, "persamaan mempererat, perbedaan memperkaya".

    Semoga dengan semakin banyaknya kesempatan untuk bekerja sama (termasuk antara akademisi dan praktisi) di lingkungan industri/organisasi Indonesia, semakin terwujud pula kesempatan untuk menciptakan SDM dan industri/organisasi Indonesia yang memiliki daya saing pada taraf internasional.

    Terima kasih Anda sudah membaca tulisan ini.

    Mikroskop Psikolog Organisasi: Sehat atau Tidak?

    Selasa, 01 Desember 2009 · 0 komentar

    Dalam psikologi organisasi, perilaku individu dan kelompok dalam organisasi formal dipahami melalui pendekatan ilmiah dengan mengambil pemahaman dari sub-bidang psikologi lainnya. Organisasi formal dibentuk untuk memenuhi berbagai tujuan yang dinyatakan secara eksplisit dan biasanya tertulis, mencakup organisasi-organisasi bisnis dan non bisnis (seperti universitas, departemen pemerintahan, organisasi pelayanan sosial, dll.). Psikologi organisasi membantu organisasi-organisasi berfungsi lebih efektif melalui berbagai penelitian ilmiah dan aplikasi dari hasil-hasil penelitian.

    Dibandingkan dengan organisasi yang kurang efektif, organisasi yang efektif biasanya lebih produktif, menyajikan pelayanan-pelayanan yang lebih berkualitas, serta lebih sukses dari segi keuangan. Bagi organisasi-organisasi swasta, kesuksesan tercermin dari kekayaan para pemangku kepentingan dan rasa aman bekerja para karyawan. Bagi organisasi-organisasi pemerintah (seperti departemen kepolisian, pemerintahan daerah, universitas pemerintah, dll.), kesuksesan berarti penghematan biaya dan pelayanan-pelayanan yang lebih berkualitas kepada para wajib pajak. Secara tidak langsung, organisasi-organisasi yang sukses menyediakan peluang-peluang kerja dalam memfasilitasi peningkatan ekonomi anggota masyarakat. Para karyawan dalam organisasi-organisasi yang sukses juga lebih puas dalam bekerja, yang sekaligus dapat berdampak pada meningkatnya perilaku positif karyawan dalam menjalani peran-peran di luar pekerjaan, misalnya sebagai orangtua dan anggota masyarakat. Selain itu, para konsumen juga mendapatkan tawaran produk-produk dan pelayanan-pelayanan dengan harga yang lebih rendah dengan meningkatnya penghematan biaya organisasi. Kesimpulannya, semua pihak berpotensi diuntungkan ketika organisasi-organisasi berfungsi secara efektif.

    Sebagian orang mungkin memperdebatkan kriteria kesuksesan adalah subjektif sifatnya, namun kesehatan organisasi tetap selalu menjadi hal yang penting untuk dipelihara agar organisasi dapat menjaga keberlangsungan hidupnya. Organisasi yang sehat memenuhi misinya dan sekaligus membuat individu-individu di dalamnya belajar, bertumbuh dan berkembang. Fokus utamanya adalah mendesain struktur organisasi yang optimal, sehingga memiliki kerangka yang sehat sebagai pondasi dasar bagi tubuh yang sehat. Selain itu, proses-proses yang berlangsung di dalam organisasi, seperti sistem penghargaan (reward) dan praktik-praktik sumber daya manusia (SDM), serta dimensi-dimensi pengembangan dan teknologi juga memberikan dampak bagi kesehatan organisasi.

    Secara umum, ada sejumlah alasan yang menyebabkan organisasi menjadi tidak sehat, di antaranya strategi organisasi yang gagal, desain organisasi yang tidak tepat, ketidak-jelasan hubungan antara aktivitas organisasi dengan strategi organisasi, budaya organisasi yang tidak tepat, serta kualitas sumber daya manusia organisasi yang kurang memenuhi kebutuhan organisasi. Lebih spesifik lagi, berbagai penyebab organisasi-organisasi menjadi tidak sehat dijelaskan sebagai berikut:
    • Ketidak-jelasan akuntabilitas, yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan seperti: kurangnya atau ketidak-jelasan visi, ketidak-jelasan prioritas-prioritas, ketidak-mampuan untuk membuat keputusan-keputusan secara cepat, duplikasi pekerjaan, pekerjaan diabaikan dan/atau dihilangkan, kurangnya delegasi yang tepat, kelebihan jumlah karyawan, reaksi yang lambat terhadap berbagai pelanggan dan kompetisi, ketidak-jelasan perkembangan karier, kesulitan untuk menangani pertumbuhan yang cepat, pekerjaan yang berkualitas tidak tercapai, para manajer ditarik ke dalam level-level pekerjaan yang tidak tepat, terlalu banyak pertemuan-pertemuan/rapat-rapat, pertemuan-pertemuan/rapat-rapat yang tidak efektif, loyalitas (kepatuhan) yang terbagi, penggunaan kapasitas individu yang tidak optimal, kehilangan kreativitas, kehilangan orang-orang yang “baik”, waktu bekerja yang panjang dan penuh tekanan, langkah-langkah otoriasi yang terlalu panjang, serta buruknya relasi di antara karyawan (mentalitas ‘mereka dan kami’).
    • Antisipasi pertumbuhan pada masa yang akan datang, yang cenderung hanya diperluas dari tren-tren pada masa sebelumnya. Ketika terjadi penurunan (atau permasalahan) terkait ekonomi atau aktivitas organisasi yang sedang berlangsung, terkadang para manajer mencoba membangun cara-cara untuk keluar dari permasalahan ketimbang mengatasi permasalahan tersebut. Dilema akut yang seringkali muncul terkait peran manajer sesuai dengan struktur organisasi adalah di satu sisi diperdebatkan bahwa jika sumber daya tidak disediakan, maka pertumbuhan tidak akan terjadi; sementara di sisi lain, jika terlalu banyak sumber daya disediakan terlalu awal, maka inisiatif yang dilakukan akan gagal dengan adanya beban biaya di awal.
    • Arogansi keuntungan, dengan asumsi bahwa suatu organisasi yang begitu menguntungkan secara otomatis adalah sempurna untuk segala aspek organisasinya. Hal ini bukan berarti bahwa setiap organisasi yang menguntungkan akan menjadi tidak sehat, melainkan bahwa organisasi-organisasi yang menghasilkan keuntungan umumnya akan merasa ‘aman’ dan mengarahkan diri pada pemikiran bahwa setiap aspek bisnisnya secara merata sudah baik, baik dalam segi ukuran, kualitas dan keterampilan. Keuntungan-keuntungan jangka pendek dapat membutakan para pemimpin akan kegagalan untuk memenuhi standar tertentu terkait kinerja organisasi yang lebih luas.
    • Dampak sistem-sistem formal dalam evaluasi pekerjaan dan penyelenggaraan promosi-promosi, yang mengabaikan aspek kualitas (hanya kuantitas dari sistem, seperti job analysis, job ranking, job grading, dan job evaluation) dalam pengambilan keputusan promosi, sehingga pada akhirnya tidak memberikan nilai tambah kepada organisasi. Pertumbuhan sistem-sistem formal dalam mengukur nilai suatu pekerjaan selaras dengan pertumbuhan birokrasi pada abad ke-20. Hubungan antara penghargaan-penghargaan (rewards) dan evaluasi jabatan (job evaluation) telah mengakibatkan distorsi pada struktur organisasi-organisasi. Pergerakan dari satu tingkat (grade) ke tingkat lainnya telah dikenal dengan sebutan ‘promosi’, yang membawa lebih banyak uang, status yang lebih tinggi, dan ‘kemajuan’ yang lebih. Penyelenggaraan promosi-promosi semacam ini seringkali dicapai dengan menambah lapisan-lapisan dalam organisasi sebagai cara untuk menambah anggaran belanja, aset-aset dan bawahan-bawahan, yang sekaligus menjadi standar atau kriteria dari sistem pengukuran dalam evaluasi jabatan. Kecenderungan untuk menggunakan sistem-sistem formal ini juga didorong oleh hasrat organisasi-organisasi (seperti perusahaan-perusahaan multinasional) untuk menghubungkan sistem-sistem yang mereka miliki dalam memfasilitasi pengukuran standar-standar gaji di pasar.
    • Mendesain struktur dari atas ke bawah (top-down) ketika rentang kontrol CEO (chief executive officer) sempit secara proporsi, ada kecenderungan alami untuk menambah lapisan-lapisan yang dekat dengan manajemen atas, yang sesungguhnya tidak diperlukan di dalam organisasi. Ketika satu orang mengorganisasi dari atas ke bawah, akan menjadi sulit untuk menunjukkan letak nilai tambah pengambilan keputusan sesungguhnya berada. Pada tahap mendesain, meskipun orang-orang di dalam organisasi merupakan komponen yang penting, struktur dibangun terpisah dari kebutuhan-kebutuhan orang-orang yang ada di dalam organisasi pada saat yang bersangkutan. Desain dimodifikasi sesuai dengan ketersediaan, kekurangan, atau kemampuan dari sumber daya manusia; sehingga penyimpangan dapat diketahui dan diperbaiki secara terus-menerus.
    • Dampak titel-titel (nama jabatan), serupa dengan dampak yang telah disebutkan terkait sistem evaluasi pekerjaan. Terlalu bergantung pada titel-titel akan menyebabkan permasalahan dalam membedakan akuntabilitas dan peran di dalam organisasi, misalnya antara CEO (chief executive officer) dan COO (chief operational officer). Bertambahnya jumlah titel di dalam organisasi secara langsung mengarah pada organisasi-organisasi yang memiliki kelebihan lapisan dan tidak sehat, sehingga akuntabilitas menjadi kurang jelas (kabur), yang pada akhirnya menyebabkan frustrasi dan menurunkan motivasi orang-orang di dalam organisasi untuk bekerja dan belajar.
    • Penekanan pada kontrol, juga turut berkontribusi dalam penambahan lapisan yang tidak perlu di dalam organisasi. Sejarahnya, lebih dari 100 tahun lalu barisan terdepan organisasi (frontline) tidak berpendidikan dan tidak memiliki keterampilan kerja, namun pada abad ke-21 hal ini sudah bukan menjadi persoalan. Namun, di negara-negara berkembang masih ada kecenderungan untuk percaya bahwa bawahan yang tingkat pendidikannya lebih rendah memerlukan supervisi yang lebih besar. Penelitian di berbagai negara berkembang menunjukkan bahwa pekerja-pekerja yang belum berpengalaman dan kurang memiliki keterampilan akan dilatih dengan lebih baik dan akan belajar lebih cepat dengan melapor secara langsung kepada bos yang sesungguhnya ketimbang hanya menjadi ‘pesuruh’ dari atasannya. Pada akhirnya, hal ini bukan lagi merupakan pemberian otoritas (empowerment), melainkan semata-mata hasrat untuk mengontrol.
    • Promosi dari dalam, yang cenderung menjadi peraturan perusahaan-perusahaan yang telah sukses dan berdiri lebih dari 100 tahun untuk mengembangkan orang-orang (talents) di dalamnya. Bahayanya, dalam usaha menciptakan pekerjaan-pekerjaan untuk ‘promosi’ atau ‘pelatihan’, lapisan-lapisan baru diciptakan, yang seringkali sifatnya bukan pekerjaan (non-jobs) dan tidak memenuhi tujuan-tujuan pekerjaan ini didesain. Hal ini selalu disebabkan oleh kebingungan terkait level, status dan gaji pekerjaan baru dengan adanya konsep akuntabilitas. Agar filosofi positif dari promosi tidak diselewengkan, diperlukan kerangka pemikiran yang akurat berkaitan dengan prinsip-prinsip yang dianut organisasi, sebagai pelindung organisasi.
    • Pemikiran terkait wilayah operasi organisasi, yang merupakan rasionalisasi (pembenaran palsu; fakta, namun tidak valid) sebagian besar organisasi terkait struktur tidak sehat yang dimilikinya, dengan alasan situasi dan kondisi lokal yang unik. Seiring dengan globalisasi, hal ini hanya mencerminkan pemikiran yang sempit dengan melihat dan menerima keterbatasan-keterbatasan yang akan selalu ada.
    • Beban pekerjaan dalam garis horizontal organisasi, bila tidak tepat secara proporsi akan mengarah pada jumlah lapisan dalam garis vertikal yang tidak tepat, begitu pula sebaliknya; sehingga keduanya perlu diatur keseimbangannya. Terlalu sedikitnya lapisan vertikal atau terlalu banyaknya spesialisasi fungsi pekerjaan dapat menyebabkan berlebihnya beban pekerjaan dalam garis horizontal. Untuk menjawab permintaan penambahan lapisan, perlu diteliti jangkauan horizontal dari organisasi yang mengajukan permintaan. Biasanya, diasumsikan bahwa suatu unit dapat menangani pekerjaan unit lainnya bila memang ada sinergi di antara keduanya. Pada kenyataannya, seringkali bukan hal ini yang terjadi dan dilakukan penambahan lapisan yang tidak memberikan nilai tambah bagi organisasi.
    • Kebingungan antara pekerjaan-pekerjaan utama dan pendukung, yang mengarahkan pekerjaan-pekerjaan pendukung ditempatkan secara tidak tepat dalam kerangka akuntabilitas.
    Teorinya jelas, namun permasalahannya adalah bagaimana mendesainnya dalam praktik. Berapa banyak tulang punggung yang seharusnya ada dalam kerangka organisasi yang sehat? Apa posisi-posisi kuncinya? Bagaimana masing-masing posisi ini diidentifikasi? Apa dampak menghilangkan suatu posisi dari kerangka tersebut? Apa dampaknya bagi pengembangan dan motivasi para pemegang posisi? Yang mengejutkan, pada awal abad ke-21 hal ini masih menjadi area yang perlu dijawab dan merupakan tren baru bagi sebagian besar organisasi. Bagaimana pun, perlu diingat bahwa tidak ada solusi ‘perbaikan-cepat’ bila suatu organisasi hendak menghindari krisis pada masa yang akan datang.

    Visi untuk mencapai suatu organisasi yang sehat dapat dirumuskan sebagai suatu organisasi yang dengan jumlah optimal lapisan kepemimpinan, yang secara jelas menambah nilai dalam pekerjaan orang-orang di dalam organisasi. Hal ini mencakup desain dan pelaksanaan misi dan strategi organisasi. Pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab secara tepat dan jelas di antaranya terkait: (1) bagaimana cara menyediakan ruang dan tantangan bagi individu-individu di dalam organisasi untuk mencapai kinerja yang diperlukan, secara berkelanjutan belajar, bertumbuh dan menikmati pekerjaan mereka, serta mendapatkan penghargaan yang tepat atas kinerja mereka, (2) bagaimana cara memastikan bahwa jumlah pekerjaan sudah tepat sebagai dasar bagi organisasi yang efektif dari segi biaya, serta (3) bagaimana cara mengidentifikasi talents (orang-orang yang dinilai memberikan kontribusi yang signifikan bagi organisasi) dan menyusun rencana pengembangan yang relevan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan individu dan organisasi.

    Secara luas, diasumsikan bahwa “struktur organisasi yang datar/ramping/pendek” (flat organization) merupakan organisasi yang sehat. Frase ini merupakan suatu oksimoron, pemaknaan kata yang berlawanan arti, sehingga dalam praktiknya sering disalahartikan. Setiap organisasi yang berdiri untuk mencapai suatu tujuan tertentu memerlukan suatu kerangka akuntabilitas pengambilan keputusan (decision-making accountability, DMA) yang transparan. Berbagai penelitian analisis DMA dimulai sejak tahun 1988, termasuk di dalamnya melibatkan Tesco dan Unilever, memfokuskan pada kualitas keputusan-keputusan yang diambil (tidak hanya sebatas sumber daya yang ditangani), apa yang ‘ditambahkan’ oleh keputusan-keputusan ini pada pekerjaan-pekerjaan orang lain, serta kapan pemegang posisi perlu menjawab pada otoritas yang lebih tinggi terkait pekerjaan, berbagai sumber daya, pelayananan, dan hasil, sejalan dengan kontribusinya terhadap misi organisasi atau unit bisnis. Semakin tinggi level suatu pekerjaan, DMA semakin bersifat strategis; sebaliknya, semakin rendah level suatu pekerjaan, DMA semakin bersifat operasional. DMA membentuk suatu pendekatan yang terintegrasi secara konseptual terkait desain organisasi, manajemen penghargaan (rewards), pengembangan individu, perencanaan karier, serta pengembangan organisasi.

    Tiga prinsip dasar DMA dijelaskan sebagai berikut:
    1. Seluruh pekerjaan yang terorganisasi, manajerial atau non-manajerial, berada pada suatu hierarki yang terdiri dari level-level atau lapisan-lapisan yang terpisah dan dapat dibedakan satu dengan yang lainnya. Pada setiap tingkat kesuksesan, suatu tujuan perlu dicapai. Semakin tinggi setiap tingkatan, keputusan-keputusan yang perlu diambil pun menjadi semakin luas sifatnya, rentang situasi yang perlu dipertimbangkan menjadi semakin kompleks, semakin melibatkan banyak orang, semakin tinggi kualitas individu yang diperlukan, otoritas dan kebebasan pengambilan keputusan semakin meningkat, serta diperlukan waktu yang lebih lama untuk mengukur dampak dari keputusan-keputusan yang diambil.
    2. Untuk setiap level pekerjaan, keseimbangan tugas-tugas pekerjaan utama berada pada satu level. Indikasi keseimbangan (ada/tidak adanya ‘kelebihan’ akuntabilitas) adalah dengan mengidentifikasi tugas-tugas pekerjaan mana yang memerlukan waktu yang paling besar. Dalam kasus-kasus tertentu, pekerjaan akan menyebar lebih dari satu level, misalnya seorang eksekutif yang bertanggung-jawab untuk pengambilan keputusan-keputusan strategis mungkin juga perlu menyediakan waktu untuk hal-hal administratif yang kurang menantang, untuk memastikan para bawahan memenuhi tanggung-jawab utama pekerjaannya. Namun, jika sebagian besar waktu eksekutif dihabiskan untuk tugas-tugas pekerjaan pada level yang lebih rendah, maka hal ini akan mengarah pada permasalahan-permasalahan pengembangan organisasi.
    3. Setiap tingkat akuntabilitas memerlukan satu dan hanya satu lapisan manajemen, dan hal ini menjadi Golden Rule desain organisasi yang optimal adalah: jumlah lapisan manajemen sama dengan jumlah level pekerjaan dikurangi satu (optimum structure = work levels minus 1). Satu lapisan manajemen diperlukan hanya jika atasan pada level ini benar-benar bertanggung-jawab untuk membuat keputusan-keputusan yang tidak dapat dilakukan oleh para bawahannya, dengan otoritas yang turut mempertimbangkan dan mengintegrasi hal-hal yang memang lebih luas dan kompleks dari para bawahannya.
    Singkatnya, model DMA menyajikan ‘struktur-struktur yang lebih datar/ramping/pendek, komunikasi dan pengambilan keputusan yang lebih cepat, inovasi yang lebih baik, hubungan yang lebih dekat dengan pelanggan, dan tenaga pekerja bermotivasi tinggi’ melalui pengamatan realitas (sehubungan dengan kebutuhan organisasi). Meskipun demikian, ada pula kasus-kasus terjadinya distorsi akibat organisasi memiliki lapisan yang terlalu sedikit. Beberapa penyebab yang umum, antara lain:
    • ‘Membebaskan organisasi dari hierarki’, dengan adanya asumsi yang gila bahwa hierarki pada dasarnya buruk. Beberapa keyakinan yang turut mendorong hasrat untuk merampingkan organisasi: (1) Organisasi model orkestra, bahwa dalam suatu institusi perlu ada suatu otoritas akhir, yaitu bos/pemilik (Peter Drucker, 1998); (2) Perlunya manajemen turun ke level-level di bawahnya (management by walking around); (3) Pemahaman bahwa kelebihan ‘kepala’ (pekerja) hanya akan menambah biaya; dan/atau (4) Piramida organisasi terbalik (pelanggan dan barisan terdepan pekerja di piramida bagian atas dan CEO di bagian bawah), yang membingungkan simbol dengan makna.
    • Pengurangan biaya yang sangat besar, yang terjadi karena keputusan-keputusan atau pengamatan-pengamatan manajemen. Pendekatan yang paling umum dan sederhana adalah menggunakan persentase tetap (fixed percentage) untuk setiap divisi, yang mengarah pada dua jebakan, yaitu beberapa divisi dipotong terlalu dalam dan divisi lainya kurang dalam. Pada akhirnya, pendekatan ini selalu merupakan keputusan yang salah dengan alasan-alasan yang berbeda untuk setiap divisi. Hal ini biasanya merupakan keputusan politis organisasi dan menjadi pertolongan terakhir untuk melindungi kepemimpinan yang lemah. Permasalahan utama dalam merampingkan organisasi berdasarkan biaya adalah menentukan cara untuk mengetahui kapan dan mengapa perlu berhenti.
    • Hasil menebak atau mengira-ngira, karena kurangnya pemahaman yang relevan dalam menentukan pekerjaan-pekerjaan mana yang perlu dihilangkan ketika disadari ada terlalu banyak lapisan manajemen.
    • Kerja tim yang efektif, dapat meningkatkan, namun tidak dapat menggantikan kebutuhan organisasi akan akuntabilitas. Kerja tim tidak dapat secara otomatis membentuk organisasi yang datar/ramping, atau pun budaya organisasi yang memandang bahwa setiap orang adalah sama dan memiliki hak-hak dan kesempatan-kesempatan yang sama (egalitarianisme).
    • Dampak teknologi informasi (komputer dan internet), dikatakan telah menghilangkan manajemen organisasi lini tengah, yang biasanya merupakan usaha para eksekutif untuk memadatkan struktur organisasi sebagai bagian dari usaha untuk membenarkan adanya biaya tambahan, sementara sebagian lagi karena teknologi informasi telah menjadi gerbang organisasi untuk menjadi lebih dari sekedar hierarki. Penggunaan teknologi informasi tidak akan membantu bila pekerjaan tidak diorganisasikan dan didesain dalam struktur yang efektif.
    • Pertumbuhan yang sangat cepat, yang membawa organisasi pada tingkat kebutuhan akuntabilitas yang lebih tinggi. Misalnya, kepala unit bisnis menemukan bahwa pekerjaan telah ditingkatkan pada domain yang lebih strategis, sementara pada saat yang sama para bawahan dihadapkan pada pengambilan keputusan-keputusan yang lebih kompleks dan masuk ke dalam wilayah perencanaan yang membutuhkan waktu yang lebih lama dan lebih kritis sifatnya. Seperti akibat yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa antisipasi pertumbuhan organisasi yang terencana dapat mengarah pada kelebihan lapisan organisasi, hal ini mungkin juga secara tidak tepat memperlambat penambahan ‘orang-orang kunci’ untuk memenuhi kebutuhan pekerjaan dan akuntabilitas. Hal ini terkadang didorong oleh hasrat untuk meningkatkan produktivitas, yang seiring dengan pertumbuhan organisasi, penambahan ‘orang-orang kunci’ diperlukan.
    Kesimpulannya, struktur organisasi yang terlalu panjang atau terlalu pendek keduanya akan menyebabkan konsekuensi yang serupa terkait komunikasi dan pengambilan keputusan di dalam organisasi. Dalam struktur organisasi yang terlalu panjang, komunikasi antara CEO dan barisan terdepan organisasi menjadi terhambat. Dalam struktur yang terlalu pendek, supervisor yang tidak dapat memenuhi semua kebutuhan komunikasi dan pengambilan keputusan, sehingga laporan-laporan dari para bawahan akhirnya hanya diletakkan di meja saja, sementara informasi dari manajemen yang lebih atas juga tidak dapat disampaikan oleh supervisor kepada para bawahannya karena supervisor terlalu sibuk dengan hal-hal lainnya. Komunikasi ke atas dan ke bawah menjadi tertahan di leher organisasi. Oleh karena itu, keseimbangan antara garis vertikal dan garis horizontal struktur organisasi perlu dibangun dan selalu dipelihara.



    Referensi:
    • Jex, S. M. (2002). Organizational psychology: A scientist-practitioner approach. New York: John Wiley & Sons.
    • Dive, B. (2004). The healthy organization: A revolutionary approach to people and management (2nd ed.). London & Sterling: Kogan Page.

    Terima kasih Anda sudah membaca tulisan ini.

    Setelah Dapat Sebutan “Psikolog”, Lalu Apa?

    Jumat, 20 November 2009 · 0 komentar

    Salah seorang dosen Pengukuran & Konstruksi Tes Psikologis saya mengatakan bahwa hingga saat ini hanya psikolog yang mendapatkan kesempatan legal untuk melakukan berbagai pengukuran dan interpretasi psikologis, baik untuk keperluan individu dan/atau perusahaan. Untuk melakukan berbagai praktik psikologi pun diperlukan Surat Izin Praktek Psikolog yang saat ini dikeluarkan hanya oleh Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi). Tentu sebelumnya diawali dengan menjalani jenjang pendidikan yang disyaratkan, yakni S1 Psikologi (empat tahun), Profesi Psikologi (dua tahun), ditambah dengan S2 Psikologi (dua tahun) untuk bidang kekhususan tertentu, atau kedua yang terakhir dijalani sekaligus dalam program Magister Profesi Psikologi (2 tahun). Para lulusan pun dipastikan memahami Kode Etik Psikologi dan mengangkat Sumpah Profesi di bawah ajaran agamanya masing-masing di hadapan publik (kolega, pasangan hidup, orangtua, serta anggota masyarakat lainnya yang diundang pada sesi tersebut). Saya melihat prosedur ini ada karena telah disadari bahwa seorang psikolog akan selalu mengemban tanggung jawab besar atas profesi yang dimilikinya dalam sisa hidupnya.

    Misalnya, suatu interpretasi hasil psikotes yang dilakukan oleh psikolog untuk tujuan rekrutmen, promosi/mutasi, pelatihan, atau pengembangan organisasi lainnya bisa mengubah langkah hidup seseorang atau suatu perusahaan dan negara (diketahui bahwa pemerintah Indonesia menempatkan para psikolog dalam jajaran pengambil keputusan untuk menentukan apakah seseorang layak memegang senjata atau tidak). Dengan demikian, unsur legalitas dan profesionalitas seorang psikolog sangat penting, sehingga perlu dijaga dan dipelihara dengan meningkatkan kompetensi yang dimiliki secara berkelanjutan melalui pembelajaran seumur hidup, baik dengan membaca buku-buku atau jurnal-jurnal terkini sesuai dengan bidang profesinya, atau mengikuti jalur sertifikasi profesi, studi lanjutan, serta pengalaman praktik psikologi sehari-hari secara tepat.

    Peribahasa Indonesia mengatakan: “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Kurang profesionalnya seorang psikolog dalam praktik yang dijalankannya sehari-hari, selain merusak citra dirinya, dapat pula merambat kepada citra profesi psikolog, universitas tempat ia diluluskan, institusi yang mengeluarkan izin praktik, kolega yang berkerja-sama dengan dirinya, perusahaan yang telah memilihnya sebagai tenaga profesional, bahkan orangtua yang telah mendidiknya dari ia lahir. Berlebihan? Menurut saya, sama sekali tidak. Pilihan-pilihan tersebut akan selalu ada dan tanggung jawab terbesar atas pilihan yang diambil selalu ditujukan kepada Sang Pencipta. Namun tentu, Anda boleh tidak setuju.

    Setelah lulus program Magister Profesi Psikologi (Industri & Organisasi) dan program Certified Human Resources Professional dari Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta pun, saya sadari hal-hal yang perlu saya pelajari masih sangat banyak, bila memang berharap diri dapat memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat terkait pengembangan SDM dan industri/organisasi Indonesia. Saya memang senang membaca, namun sekarang menjadi kecanduan buku-buku ilmiah. Ditambah lagi, salah seorang dosen Psikologi Budaya saya mengatakan, “Seringkali, yang memastikan bahwa suatu perencanaan organisasi berhasil adalah budaya orang-orang di dalamnya, sehingga pemahaman tentang budaya organisasi, baik pemimpin dan karyawan, menjadi prasyarat. Tidak ada budaya yang benar/salah, baik/buruk, yang terpenting adalah bagaimana penyesuaian diri individu bila memilih untuk berada dalam suatu lingkungan budaya tertentu. Terkait dengan hal ini, kualitas interaksi/komunikasi dengan orang-orang di dalam organisasi sekaligus menjadi penting.” Skripsi dan tesis saya yang keduanya mengangkat topik tentang budaya dalam aspek psikologisnya, dan pengalaman dalam lingkungan industri/organisasi telah membuktikan hal tersebut.

    Saya pikir, belajar memang perlu seumur hidup. Salah satu atasan saya (Human Resources Manager) pernah berkata, “One at a time, Dear. One at a time …

    Berapa banyak psikolog, tenaga pengajar, pemimpin organisasi, serta masyarakat umum Indonesia yang turut menyadari pentingnya hal-hal di atas, lalu mengambil pilihan-pilihan yang tepat dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam konteks yang melibatkan kepentingan orang banyak? Mungkin Anda bisa berbagi fakta di lapangan? Saya akan senang bila mendapatkan kesempatan untuk berdiskusi dengan Anda.

    Motivasi saya menuliskan semua ini hanya satu, yaitu mengajak Anda ikut belajar dan berbagi bersama. Yuk?

    Terima kasih Anda sudah membaca tulisan ini.

    Psikolog Indonesia Belajar & Berbagi

    Tulisan-tulisan di dalam blog ini sepenuhnya merupakan pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh dari pengalaman, bahan bacaan, dan/atau hasil studi, yang dinilai dapat bermanfaat bagi kolega, rekan kerja, teman, keluarga, serta masyarakat luas. Tanggapan-tanggapan, baik berupa diskusi (setuju atau pun tidak setuju beserta alasan-alasannya), pengalaman pribadi dan/atau orang lain, pertanyaan, kritik, dan/atau saran, atas tulisan-tulisan yang ditampilkan selalu terbuka bagi para penulis dan pembaca lain, demi tujuan-tujuan yang konstruktif, khususnya belajar dan berbagi bersama.

    Blog ini ditujukan bagi para penulis dan pembaca untuk belajar menyampaikan informasi dan pengetahuan yang dimiliki secara cuma-cuma kepada siapa saja yang mungkin membutuhkan, sekaligus belajar menerima informasi dan pengetahuan baru dari para penulis dan pembaca lain yang bersedia menuliskan tanggapan atas tulisan-tulisan yang ditampilkan.

    Blog ini dibuat dan dikembangkan setelah adanya pemahaman tentang analogi 'Laut Mati' yang disampaikan oleh seorang praktisi SDM di salah satu perusahaan multinasional: Tidak ada kehidupan di Laut Mati, karena Laut Mati hanya menerima, namun tidak memberi (alias berbagi). Beberapa waktu sebelumnya, seorang teman menggunakan analogi 'Gunung Tinggi' untuk menunjukkan bahwa: Tidak menyenangkan dan sunyi berada di atas Gunung Tinggi seorang diri hanya karena diri memilih dan berkeinginan untuk mengetahui segala sesuatunya tentang dunia, lalu tidak ingat pentingnya berbagi pengetahuan untuk bisa terus-menerus belajar. Seorang bijak lainnya menambahkan: Belajar dan berbagi dalam hidup sangat penting agar manusia tidak menjadi arogan.

    Nah, bagi siapa pun yang hendak turut menuliskan ide/pemikiran melalui blog ini, silahkan mengirimkan nama lengkap, deskripsi diri, dan contoh tulisan ke: tjo.ellys@gmail.com, untuk ditambahkan ke dalam Daftar Penulis blog ini. Mohon cantumkan referensi bila mengutip dari sumber bacaan/film/karya lain.

    Selain itu, via alamat email tersebut, Anda bisa juga mengirimkan tanggapan-tanggapan, topik-topik ide/pemikiran untuk dituliskan, dan/atau KONSULTASI atau KONSELING GRATIS dengan Administrator dalam batasan kode etik profesi sebagai psikolog. Anda dapat mengajukan diri pula untuk ditambahkan ke dalam atau dihapuskan dari mailing list (daftar penerima informasi bila diterbitkan tulisan-tulisan baru) blog ini. Tentu, sebelumnya Anda perlu menjadi follower blog ini dengan mengklik icon 'Follow' di bagian 'PENGIKUT BLOG INI'.

    Ditunggu ya partisipasinya ... :)
    Terima kasih.

    Salam & Semangat Belajar & Berbagi,
    Ellys Tjo, M.Psi., Psikolog, CHRP
    selaku Administrator

    Kutipan

    It is a fine thing to have ability, but the ability to discover ability in others is the true test. ~Elbert Hubbard (1856-1915)
    For me, words are a form of action, capable of influencing change. ~Ingrid Bengis (1944 - ...), quoted by Barack Obama in one of his 2008 campaign speeches.

    Pengikut Blog Ini

    Penelusuran Lainnya