Ketika Kecoak Terbaring dan Tak Mati

Minggu, 20 Maret 2011 ·

Ditulis oleh: PATRICK REINALDO
Saat itu, sekitar 11.30 malam.

Setelah melalui hari yang melelahkan, sampailah saya di rumah dan ingin segera menyegarkan diri dengan mandi air hangat. Yang saya dapati kemudian adalah seekor kecoak yang berlarian ke sana-sini—dinding, lantai, lalu kembali ke dinding kamar mandi. Siapa coba yang tak kenal dengan binatang satu ini? Coba bayangkan bentuknya …, warnanya …, lalu sungutnya…, dan terakhir baunya …. Menggelikan menjurus menjijikkan??!! Ditambah lagi dengan sifat alaminya yang unik, yang kalau kita takut-takuti justru mendekati kita (coba deh kalo gak percaya …). Hhiiii …

Saya yang sedang sangat lelah ketika itu lantas berpikir, “Kalo lu deketin gue, lu pasti tewas kecoak!!” Benar saja, dia mendekati saya, dan sontak saya guyur dia dengan segayung air hingga terbaiklah badannya yang gepeng itu. Saya perhatikan bagaimana dia berusaha begitu keras untuk membalikkan badannya. Dia gerak-gerakkan keenam kakinya itu sedemikian kuat dan cepatnya. Sambil melanjutkan mandi (agak waswas juga kalo dia bangun lagi), saya kembali berpikir, “Kalo dia pintar, dia ga bakal bangun. Kalo dia bangun, kali ini dia pasti tewas,” disertai dengan niat untuk mengambil obat pembunuh serangga.

Kecoak itu, saya akui, memiliki kegigihan yang luar biasa dalam berjuang menggapai keinginannya untuk bangun. Namun, apa yang terjadi bila kecoak tersebut berhasil bangun? Yang ia hadapi selanjutnya adalah kematian, dari saya. Walau tidak menjamin juga kalau dia tidak bangun tak saya semprot dengan obat pembunuh serangga.

Terlepas dari kemungkinan-kemungkinan yang ada, pertanyaan-pertanyaan yang kemudian muncul dalam pikiran saya:
  1. Apakah kecoak itu sadar akan apa yang sedang ia perjuangkan?
  2. Apakah perjuangannya dapat mendukung tercapainya tujuan-tujuan yang dimilikinya?
  3. Apakah perjuangannya berujung pada keselamatan? atau justru kematian?
Menurut saya, pertanyaan-pertanyaan di atas penting pula untuk direnungkan oleh Anda.

Sebagai manusia, tentu perlu memiliki mimpi, visi, tujuan dalam hidup ini; hal-hal itulah yang membuat hidup kita bermakna. Namun, apakah Anda pernah mengkaji kembali: Apakah yang sedang Anda perjuangkan HARI INI sesuai dengan atau dapat mendukung tercapainya tujuan-tujuan hidup Anda?

Kejadian yang berlangsung singkat itu (±10 menit saja) mengingatkan saya bahwa: Adakalanya, justru seringkali manusia ‘terjebak’ (yang bagi saya sesungguhnya menjebak dirinya sendiri) dalam situasi-situasi yang tidak atau kurang mendukung tujuan-tujuan hidup yang telah ditetapkan sebelumnya, namun kemudian pada HARI INI tanpa disadari situasi-situasi tersebut menjadi keseharian hidup yang kurang dilandasi dengan fokus, disiplin, dan komitmen awal yang telah dibangun atas tujuan-tujuan tersebut. Belum lagi, adakalanya manusia terdorong untuk melakukan sesuatu hanya karena keadaan tidak nyaman yang saat itu dirasakan (bersikap reaktif) tanpa pikir panjang, alias mengesampingkan akal sehat.

Seperti halnya dengan seorang ayah, ibu, atau anak yang ingin membahagiakan keluarganya. Setiap hari bekerja keras membanting tulang, bahkan membanting daging untuk mencari uang. Namun, dalam pencapaiannya tidak lagi memiliki waktu untuk bersama keluarga. Apakah kemudian keluarganya menjadi bahagia? Tergantung. Apakah tujuan hidup ayah, ibu, atau anak tercapai? Lagi-lagi, tergantung. Tergantung apakah: (1) membahagiakan keluarga atau (2) mencari uang, yang menjadi tujuannya? Mungkin Anda perlu pikirkan, setidaknya sekali lagi HARI INI, hal apakah yang sesungguhnya bermakna bagi diri Anda sendiri DAN keluarga Anda?

Kembali ke si kecoak. Keadaan tubuh yang terbalik mungkin menimbulkan perasaan tidak nyaman dan secara insting sekaligus menjadi alarm bahwa hidupnya mungkin dalam kondisi terancam. Kecoak itu kemudian berusaha sekuat tenaga untuk segera membalikkan badannya. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah yang melandasi usaha si kecoak yang demikian ‘keras’-nya? Apakah dengan gambaran situasi di atas, usaha yang dilakukan si kecoak mendukung tujuannya untuk bertahan hidup?

Begitu banyak hal yang mungkin ingin kita perjuangkan dalam hidup ini dengan sekuat tenaga. Kita berpikir bahwa inilah jalan yang harus kita tempuh untuk mencapai tujuan kita. Seperti halnya kecoak yang berusaha untuk bangun, kita berlari dengan begitu kencangnya demi pencapaian-pencapaian pribadi kita, yang belum tentu merupakan tujuan kita yang sesungguhnya, yang pada akhirnya justru malah dapat menghancurkan diri kita sendiri.

Rekan-rekan, ambilah sedikit waktu untuk berhenti sejenak, pejamkan mata, ambil napas dalam-dalam dan hembuskan perlahan-lahan—lakukan berulang-ulang selama 1 (satu) menit. Lalu, refleksikan diri Anda kembali dengan sasaran untuk memikirkan langkah-langkah hidup selanjutnya dengan lebih efektif. Saya punya satu tips sederhana bagi Anda untuk melakukan investigasi kecil dalam memastikan apakah yang sedang Anda lakukan HARI INI sudah memenuhi kebutuhan rencana pencapaian TUJUAN-TUJUAN HIDUP Anda yang SESUNGGUHNYA. Tanyakan kepada diri Anda setiap pagi sebelum memulai aktivitas apa pun: PERLUKAH saya melakukan … HARI INI?

Anda SELALU punya pilihan: Menjadi seperti kecoak yang berhasil membalikkan tubuhnya dan justru seketika mati. Atau, menjadi seperti kecoak yang terbaring (sedikit lebih lama atau bersabar) dan TAK MATI.


Terima kasih Anda sudah membaca tulisan ini.

Kepercayaan (Trust): Pengkhianatan di Tempat Kerja

Kamis, 10 Maret 2011 · 0 komentar

Pernahkah Anda merasakan sakitnya mengalami pengkhianatan di tempat kerja? Saya pernah. Adakah kesempatan untuk mengembalikan kepercayaan itu? Ada, bila saya dan/atau Anda memberikan kesempatan tersebut, baik kepada diri sendiri dan/atau orang lain.

Merusak Kepercayaan—Pengkhianatan

Apa reaksi Anda ketika membaca kata 'pengkhianatan' pada judul tulisan ini? Langsung tertarik untuk membaca lebih lanjut atau justru berpikir dua kali untuk membacanya? Atau, bahkan menganggap kata tersebut berlebihan untuk digunakan?

Penting untuk memahami pengkhianatan, karena pengkhianatan merupakan bagian alami dari hubungan-hubungan dengan orang lain. [Untuk selanjutnya, kata 'hubungan-hubungan' yang dimaksud dalam tulisan ini adalah hubungan-hubungan dengan orang lain.] Pengkhianatan akan terjadi, bahkan dalam kebanyakan lingkungan dan hubungan kerja yang dikatakan ‘baik’. Kita bisa beralih ke hubungan-hubungan kita dalam kehidupan-kehidupan pribadi kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih besar: Seberapa sering kita merasa dikhianati oleh orang yang dicintai, seorang teman baik, anggota tempat kita beribadah, atau komunitas? Pengkhianatan menggugah emosi dalam diri manusia. Pengkhianatan mewakili kekecewaan, kehilangan, dan rasa sakit. Orang sering mengasosiasikan pengkhianatan dengan 'hal besar'—hal-hal yang terjadi yang menarik perhatian luas dan mendapatkan liputan media secara intens. Namun, pengalaman Dennis S. Reina & Michelle L. Reina (2006) selama 15 tahun menunjukkan hal yang berbeda.

Hal yang secara bertahap mengikis kepercayaan dan menciptakan suatu iklim pengkhianatan di tempat kerja saat ini adalah tindakan-tindakan kecil dan halus hingga tak diketahui (subtle) yang menumpuk dari waktu ke waktu. Ketika kita tidak melakukan apa yang kita katakan akan kita lakukan, ketika kita bergosip tentang orang lain di belakang punggung mereka, ketika kita mengingkari keputusan-keputusan yang kita sepakati, ketika kita menyembunyikan “agenda” kita dan bekerja di balik layar-layar, dan ketika kita memutar kebenaran (truth) ketimbang mengatakannya, kita melanggar kepercayaan dan merusak hubungan-hubungan kita.

Pengkhianatan adalah sebuah pelanggaran yang disengaja atau tidak disengaja terhadap kepercayaan atau persepsi tentang adanya suatu pelanggaran kepercayaan (Reina & Reina, 2006). Sebuah pengkhianatan yang disengaja adalah suatu tindakan egois yang dilakukan dengan tujuan untuk menyakiti/melukai, merusak, atau merugikan orang lain. Sebuah pengkhianatan yang tidak disengaja adalah suatu produk sampingan dari tindakan orang lain yang mementingkan diri sendiri yang mengakibatkan orang-orang yang tersakiti/terluka, rusak, atau dirugikan.

Pengkhianatan menggetarkan identitas kita secara tidak terkontrol dengan emosi yang kuat, yang menyebabkan kita bertanya-tanya 'siapakah saya', yang mengikis kepercayaan diri kita, dan menyebabkan kita mempertanyakan apa yang kita 'harus' (atau bahkan 'perlu') kontribusikan. Kita menjadi teralihkan/terganggu perhatiannya dan kehilangan kemampuan kita untuk memfokuskan diri pada penyelesaian pekerjaan. Bayangkan sejenak, dampak pada kinerja ketika orang-orang muncul di tempat kerja dalam keadaan teralihkan/terganggu perhatiannya, tidak dapat berkonsentrasi, dan mempertanyakan rasa memiliki (sense of belonging) organisasi dan kapabilitas (kekuatan atau kemampuan untuk melakukan sesuatu) yang dimilikinya.

Mungkin kita telah dikhianati. Apa yang kita lakukan ketika kita merasa dikhianati? Apakah kita menutup diri? Apakah kita berusaha untuk mengembalikan diri seperti sebelumnya? Bagaimana pun, kita dilukai; alamiah bahwa kita ingin melukai sebagai balasannya. Apakah kita menarik semangat dan energi kita dari pekerjaan kita dan hanya bergerak dengan emosi menyatakan, "Mereka akan mendapatkan hanya minimum dari saya"? Atau, apakah kita berusaha untuk mengatasi atau melalui (menganggap masa lalu) rasa sakit kita dan mengizinkan pengalaman tersebut untuk menjadi guru yang menguatkan kita dan hubungan-hubungan kita dengan orang lain?

Dan, mungkin kita telah mengkhianati orang lain. Ketika kita belajar bahwa kita telah mengkhianati orang lain, sengaja atau tidak sengaja, bagaimana kita menanggapinya? Apakah kita membela, merasionalisasikan (mencoba membuat alasan-alasan yang masuk akal atas sesuatu hal), dan membenarkan perilaku kita? Apakah kita beralasan, "Ketika itu saya sedang sibuk, sedang banyak pikiran, dan tidak bersungguh-sungguh"? Apakah kita menyiratkan bahwa tindakan kita itu bukan suatu masalah besar dan bahwa mungkin orang lain bersikap berlebihan? Atau, apakah kita memikul tanggung jawab atas perilaku kita yang merugikan lain dan merefleksikan apa yang sedang terjadi di dalam diri kita ketika itu sehingga berperilaku sedemikian rupa?

Jelas, kita memiliki suatu pilihan. Ketika kita telah dikhianati, kita dapat memilih untuk tetap pahit, terganggu karena diperlakukan tidak adil, sakit hati, dan marah. Kita dapat memilih untuk merasa menjadi korban. Ketika kita telah mengkhianati lain, kita dapat memilih untuk menyangkal dampak dari perilaku kita. Kita dapat memilih untuk memandang orang lain bersikap berlebihan dan membuat masalah besar padahal tidak ada apa-apa. Atau, kita dapat memilih untuk membingkai ulang pengalaman dikhianati atau mengkhianati lain sebagai kesempatan untuk belajar lebih banyak tentang diri kita dan untuk memperdalam hubungan-hubungan kita dengan orang lain.

Untuk membangun dan membangun kembali kepercayaan, perlu dipahami bagaimana pentingnya kepercayaan pada setiap aspek dalam hubungan-hubungan, perlu dipelajari pula perilaku-perilaku apa yang membangun kepercayaan dan bagaimana mempraktikkan perilaku-perilaku tersebut berkontribusi terhadap kinerja pribadi dan aktivitas-aktivitas operasional organisasi. Setelah mengetahui hal-hal apa yang merusak kepercayaan, perlu dipelajari pula apa yang bisa dilakukan untuk membangun kembali dan memelihara kepercayaan.


Pentingnya Kepercayaan di Tempat Kerja

Membangun kepercayaan—dan lebih penting lagi membangunnya kembali—mungkin terlihat sebagai tugas yang memberikan dampak emosional luar biasa. Saat hadir, kepercayaan memiliki kekuatan yang luar biasa. Namun, saat tidak ada, masalah-masalah bermunculan. Hari ini, kepercayaan semakin dibutuhkan di tempat kerja. Proses-proses yang ada di dalam organisasi semakin kompleks, terutama ketika perdagangan bebas menciptakan tuntutan yang terus meningkat kepada orang-orang di dalam organisasi, sehingga kolaborasi (aktivitas kerja sama) pun semakin dibutuhkan. Organisasi-organisasi dan orang-orang di dalamnya menghadapi tantangan-tantangan yang semakin meningkat. Dalam ilustrasi pertama, beberapa mungkin berhadapan dengan pertumbuhan dan ekspansi, peningkatan kecepatan menjaring pasar, peningkatan layanan dan kepuasan pelanggan, pengendalian biaya perbaikan, teknologi canggih, pengurangan keluhan serikat pekerja, atau perluasan jangkauan masyarakat; dalam ilustrasi kedua, lainnya mungkin berhadapan dengan merger dan akuisisi, perampingan (downsizing) dan/atau restrukturisasi organisasi, rekaya ulang (reengineering), inisiatif strategis yang memerlukan kolaborasi, keterlibatan karyawan, pengambilan risiko, kreativitas, dan inovasi dengan adanya penyusutan sumber daya, serta permintaan kepada orang-orang untuk berbuat lebih banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit.

Bisnis-bisnis memerlukan para karyawan mereka untuk menerima/mendukung dan beradaptasi dengan perubahan, serta menjalani kehidupan organisasi dengan keterlibatan dan berkomitmen penuh. Perubahan dan transisi (masa peralihan) telah menjadi hal yang biasa dan konstan terjadi di setiap organisasi di seluruh dunia. Elemen umum yang tidak pernah berubah adalah kebutuhan untuk menjalin hubungan-hubungan dengan orang lain (need for relationships). Mengapa? Satu fakta sederhana: Bisnis dilakukan melalui hubungan-hubungan dan kepercayaan merupakan fondasi bagi hubungan yang efektif untuk produktif.

Hari ini, tak terhitung jumlah individu di tempat kerja dan organisasi yang sedang dalam keadaan sakit (pain). Setelah perubahan konstan—khususnya seperti dalam ilustrasi kedua di atas—terjadi selama bertahun-tahun, kepercayaan di antara orang-orang pada setiap level organisasi setiap saat menjadi rendah (Reina & Reina, 2006). Anda mungkin secara pribadi pernah merasakan sakit tersebut ketika terjadi pelanggaran kepercayaan atau bahkan pengkhianatan selama perjalanan karier Anda. Orang-orang yang bekerja sama dengan Anda mungkin telah salah membaca niat-niat Anda ketika Anda sungguh-sungguh merasa jujur bertindak untuk kepentingan-kepentingan terbaik organisasi Anda. Anda mungkin telah dituduh tidak 'menjalankan apa yang sudah Anda katakan' (walking your talk) atau dikecewakan ketika merasa orang-orang lain juga merasakan hal yang sama. Harapan-harapan yang tidak tercapai, kekecewaan-kekecewaan, rusaknya kepercayaan, dan pengkhianatan-pengkhianatan tidak hanya terbatas pada peristiwa-peristiwa besar seperti perampingan dan restrukturisasi organisasi, melainkan muncul/ada tanpa diduga.

Para pemimpin (dalam arti luas: seluruh individu yang menampilkan perilaku kepemimpinan pada seluruh tingkatan tanggung jawab) mulai menyadari bahwa kepercayaan dan komitmen orang-orang yang dipimpinnya terhadap organisasi mempengaruhi kinerja mereka. Kepercayaan memerlukan waktu untuk berkembang; kepercayaan mudah hilang dan sulit untuk didapatkan kembali. Kepercayaan adalah elemen yang rentan, namun pasti diperlukan dalam hubungan-hubungan apa pun. Dengan pertama-tama mempercayai diri sendiri, dimungkinkan bagi para pemimpin untuk mengembangkan rasa peduli (caring), hubungan yang tulus (genuine), serta membangun kepercayaan dengan orang-orang yang dipimpinnya dan memungkinkan mereka untuk mengembangan hubungan yang efektif satu sama lain.


Kebutuhan akan Kepercayaan (Need for Trust)

Dennis S. Reina & Michelle L. Reina (2006) telah mengadakan penelitian, konsultasi, lokakarya, dan pembinaan (coaching) di lebih dari 100 organisasi dari 19 industri, di antaranya manufaktur, penerbangan udara dan luar angkasa, kimia, minyak, farmasi, telekomunikasi, komputer dan elektronik, teknik, peralatan industri, akuntansi, hukum, keuangan, manajemen hotel dan resor, pelayanan makanan, perawatan kesehatan, dan pendidikan tinggi, termasuk juga agen-agen pemerintah federal dan negara di Amerika. Mereka telah bekerja sama dengan organisasi-organisasi yang sedang dalam keadaan sakit, organisasi-organisasi yang kuat dan ingin menjadi lebih kuat, dan dengan para pemimpin yang menghargai hubungan-hubungan dengan orang lain dan ingin menghormatinya. Mereka telah mewawancarai ratusan pemimpin, manajer, penyelia/supervisor, profesional bidang sumber daya manusia dan pengembangan organisasi, dan staf dalam berbagai fungsi di organisasi. Mereka telah mengadakan kelompok-kelompok diskusi dengan ribuan orang. Mereka semua memiliki satu kesamaan yang signifikan: kebutuhan akan kepercayaan yang dimiliki individu dan organisasi. Mereka sekaligus belajar bahwa tidak mungkin bagi orang untuk berbicara tentang kepercayaan tanpa berbicara tentang pengkhianatan. Pencarian mereka diperluas dan hingga hari ini, mereka terus belajar tentang kepercayaan, pengkhianatan, penyembuhan, dan pembaharuan dalam kehidupan profesional mereka yang dikhususkan untuk mendukung budidaya kepercayaan dalam hubungan di seluruh dunia, karena mereka percaya bahwa semua manusia pantas untuk percaya pada diri sendiri dan merasa aman untuk percaya pada orang lain.

Sekali lagi, bisnis dilakukan melalui hubungan-hubungan dan kepercayaan merupakan fondasi bagi hubungan yang efektif untuk produktif. Orang-orang membutuhkan: hubungan mereka dengan para rekan kerja merupakan hubungan yang dilandasi atas kepercayaan jika mereka diharapkan untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Mereka perlu: untuk bisa bergantung pada satu sama lain untuk melakukan bagian pekerjaannya, untuk percaya bahwa apa yang dikatakan oleh para rekan kerja adalah kebenaran, untuk memiliki keyakinan bahwa mereka memiliki apa yang diperlukan untuk menyampaikan hasil pekerjaan, untuk menerima umpan-balik yang jujur terhadap kualitas pekerjaan mereka dan pembinaan dari satu sama lain untuk belajar keterampilan-keterampilan baru. Hubungan yang dilandasi atas kepercayaan adalah apa yang membuat perbedaan antara orang-orang yang merasakan apa yang mereka lakukan adalah baik dan orang-orang yang hanya sekedar melakukan/bergerak. Kepercayaan merupakan penghasil inspirasi dan energi.

Hari ini, orang-orang memiliki suatu kebutuhan untuk berhubungan dengan para rekan kerja mereka, dan kepercayaan membuat hubungan tersebut mungkin terjadi. Orang-orang memiliki suatu kebutuhan untuk memahami orang lain dan sebaliknya dipahami; untuk menggunakan keterampilan-keterampilan, bakat-bakat, dan berbagai kemampuan yang mereka miliki; untuk memberikan dan mendaparkan tantangan; untuk berbagi informasi dan menerima informasi; serta untuk mengandalkan orang lain dan diandalkan.

Ketika kepercayaan hadir, orang-orang bersemangat tentang apa yang mereka lakukan. Mereka berkolaborasi dengan bebas, saluran-saluran komunikasi terbuka, berbagi ide menjadi norma, dan orang-orang tidak takut untuk membuat kesalahan-kesalahan. Mereka bangga dengan organisasi tempat mereka bekerja, berkomitmen kepada orang-orang yang bekerja bersama dengan mereka, dan membawa diri mereka lebih 'sepenuhnya' (fully) dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan mereka. Dalam mempercayai lingkungan, orang-orang dapat memfokuskan diri pada pekerjaan mereka; mereka lebih produktif dan ingin datang ke tempat kerja.


Membangun Kepercayaan

Kabar baiknya adalah bahwa para pemimpin semakin memahami perlunya kepercayaan. Mereka menyadari bahwa ‘biaya’ (cost) tidak memiliki kepercayaan terlalu besar untuk diabaikan. Namun, kepercayaan sangatlah kompleks; yang artinya berbeda-beda untuk masing-masing orang dan provokatif menyentuh perasaan. Dibutuhkan waktu untuk mengembangkan kepercayaan dan kepercayaan dapat rusak dalam sekejap. Hanya dengan kata 'kepercayaan', sesuatu bergerak dalam diri manusia, baik perasaan hangat yang berkaitan dengan pengalaman positif, atau perasaan sedih atau marah yang berhubungan dengan hilangnya kepercayaan.

Seringkali orang beranggapan bahwa hanya organisasi-organisasi dengan masalah-masalah moral dan kinerja yang terlibat dalam membangun kepercayaan. Meskipun organisasi-organisasi tersebut melibatkan diri dalam membangun kepercayaan sebagai solusi yang dapat berhasil, namun tidak hanya masalah-masalah yang menarik organisasi-organisasi untuk upaya ini. Banyak organisasi yang sedang menikmati kinerja yang kuat dengan orang-orang yang 'puas' berkomitmen untuk membangun kepercayaan lebih lanjut. Mereka melakukannya karena melihat kepercayaan sebagai keunggulan kompetitif mereka dan karena para pemimpin mereka menghargai hubungan-hubungan. Mereka ingin membuat kinerja organisasi mereka lebih kuat, dan mereka tahu bahwa membangun kepercayaan lebih lanjut dalam hubungan-hubungan adalah suatu kunci untuk melakukannya. Orang-orang yang bekerja dalam hubungan-hubungan antara orang yang satu dengan lainnya adalah yang pada akhirnya memberikan hasil.


Kepercayaan terhadap Kepemimpinan (Leadership Trustworthiness)

Inti dari membangun kepercayaan adalah meningkatkan kesadaran (awareness) kita tentang diri kita dan perilaku-perilaku kita saat bersama-sama dengan orang lain. Melalui peningkatan kesadaran kita, kita berada dalam suatu posisi yang lebih kuat untuk memilih mempraktikkan perilaku-perilaku yang membangun kepercayaan. Dengan mempraktikkan perilaku-perilaku tersebut secara konsisten, para pemimpin memperoleh kepercayaan terhadap diri mereka.

Kepercayaan bersifat timbal balik: Anda harus memberikannya untuk mendapatkannya, dan kepercayaan dibangun langkah-demi-langkah dari waktu ke waktu. Sebuah kesalahan umum yang dibuat oleh para pemimpin adalah beranggapan bahwa posisi, peran, atau gelar mereka menjadikan mereka dapat dipercaya (Reina & Reina, 2006). Tidak ada hal yang bisa berhasil lebih jauh dari 'kebenaran'. Satu-satunya hal yang menghasilkan seorang pemimpin dapat dipercaya adalah cara mereka berperilaku. Dan untuk dipercaya oleh orang-orang, para pemimpin pertama-tama perlu bersedia dan berkeinginan untuk mempercayai mereka. Seperti kata-kata Tom Peters (penulis Amerika dalam bidang praktik manajemen bisnis), “It begets it.”, maka sama halnya, kepercayaan melahirkan kepercayaan.

Para pemimpin memperoleh kepercayaan dengan mempraktikkan perilaku-perilaku seperti menghormati perjanjian-perjanjian yang mereka buat; berperilaku secara konsisten, bahkan ketika dipenuhi tantangan-tantangan; berinvestasi pada orang-orang yang dipimpinnya dengan memberikan umpan balik dan kesempatan-kesempatan untuk mempelajari keterampilan-keterampilan baru; mengakui kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh para karyawan dengan melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan-keputusan, bahkan keputusan-keputusan yang besar; memelihara saluran-saluran komunikasi yang terbuka; dan ya, dengan memegang kuat pemikiran bahwa orang-orang yang dipimpinnya dapat bertanggung jawab, dapat memberikan penilaian-penilaian, dapat menjelaskan, dan dapat dimengerti.

Pemimpin yang dapat dipercaya bersifat aman—aman untuk diajak bicara, untuk berbagi masalah-masalah, dan untuk berbagi ketakutan-ketakutan dan kekhawatiran-kekhawatiran. Para karyawan merasa aman untuk menjadi manusia. Hasilnya, orang-orang merasa aman untuk menjawab tantangan suatu sistem dan menunjukkan kinerja yang di atas harapan-harapan. Para karyawan merasakan kebebasan lebih untuk mengekspresikan ide-ide kreatif mereka. Mereka lebih bersedia dan berkeinginan untuk mengambil risiko, mengakui kesalahan-kesalahan, dan belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut. Pemimpin yang dapat dipercaya selalu mendapatkan informasi-informasi dari orang lain. Pemimpin yang dapat dipercaya tahu di mana orang-orang yang dipimpinnya berada dan bagaimana keadaan pekerjaan-pekerjaan orang-orang yang dipimpinnya, karena orang-orang yang dipimpinnya memberitahukan kepadanya. Tidak perlu untuk menjaga rahasia-rahasia dan menari-nari di sekitar kisah yang sebenarnya.


Imbalan atas Membangun Kembali Kepercayaan

Salah satu alternatif untuk mengatasi isu-isu pengkhianatan dan memulihkan kepercayaan dalam hubungan-hubungan dengan orang lain adalah membicarakannya/mendiskusikannya secara langsung, antara pihak yang (atau merasa) dikhianati dengan pihak yang (atau merasa) mengkhianati. Inisiatif biasa berasal dari pihak yang (atau merasa) dikhianati; bila datang dari pihak yang (atau merasa) mengkhianati, saya menyebutnya luar biasa. Setelah dibicarakan/didiskusikan, masing-masing pihak bisa kembali fokus pada penyelesaian tugas-tugas pekerjaan ketimbang mengkhawatirkan apakah ada isu-isu tersebut. Masing-masing pihak tidak perlu membuang energi bertanya-tanya tentang bagaimana pihak lainnya merasa, melainkan tahu karena bertanya. Pihak yang (atau merasa) dikhianati akan lebih sepenuhnya memahami pihak yang (atau dirasa) mengkhianati, dan mungkin kemudian dapat mengembalikan keyakinan diri masing-masing dan satu sama lain bahwa mereka bisa mengatasinya bersama-sama, yang mana bila hal ini sungguh terjadi, saya menyebutnya sangat luar biasa. Hal yang pasti melegakan adalah mengakui bahwa pihak yang (atau dirasa) mengkhianati juga adalah manusia, bahwa ia telah membuat kesalahan dan akan tetap memilikinya. Pihak yang (atau merasa) dikhianati mungkin tidak akan pernah mengetahui hal tersebut jika ia tidak mengambil tanggung jawab atas perasaan-perasaannya dan kekhawatiran-kekhawatirannya dengan membicarakannya atau mendiskusikannya secara langsung dengan pihak yang (atau dirasa) mengkhianati.

Mengambil waktu untuk membangun dan menjaga kepercayaan di tempat kerja memungkinkan para karyawan untuk memfokuskan energi mereka pada pekerjaan-pekerjaan, yang ditujukan bagi mereka dan ingin mereka lakukan. Hasilnya, saran-saran untuk perbaikan produk-produk dan proses-proses organisasi berkembang biak serta produktivitas meningkat, sejalan dengan para karyawan mengembangkan rasa bangga dan rasa memiliki atas pekerjaan dan makna pekerjaan yang mereka lakukan.

Lingkungan kerja yang menginspirasikan kepercayaan merupakan hal yang membebaskan (liberating). Ketika para karyawan merasa baik tentang orang-orang yang bekerja bersama dengan mereka dan perusahaan tempat mereka bekerja, mereka menikmati kedatangan mereka ke tempat kerja dan umumnya bekerja lebih keras dalam pekerjaan-pekerjaan mereka, memberikan ‘lebih’ atas apa yang ada pada diri mereka—menerima tantangan-tantangan, melangkah menuju hal-hal yang tidak diketahui, dan melihat perubahan sebagai suatu peluang ketimbang ancaman (Reina & Reina, 2006).

Dennis S. Reina & Michelle L. Reina (2006) telah mendengar dari ratusan dan ratusan orang bahwa meskipun mereka tidak ingin menghidupkan kembali pengkhianatan masa lalu mereka, mereka bersyukur atas adanya pengalaman tersebut karena bagaimana pengalaman tersebut berkontribusi kepada 'diri' mereka hari ini dan pemahaman-pemahaman yang mereka dapatkan tentang diri mereka sendiri, hubungan-hubungan, dan kehidupan (life). Saya juga seperti ratusan dan ratusan orang itu.


Referensi:
  • Reina, D. S. & Reina, M. L. (2006). Trust and betrayal in the workplace. San Francisco: Berrett-Koehler Publishers, Inc.

Terima kasih Anda sudah membaca tulisan ini.

"Middle Class vs. World Class"

Rabu, 09 Maret 2011 · 0 komentar

Steve Siebold (2005), seorang public speaker kelas dunia, menyampaikan bahwa:
Middle Class
vs.
World Class
The Middle Class competes.
1
The World Class creates.
The Middle Class avoids risk.
2
The World Class manages risk.
The Middle Class lives in delusion.
3
The World Class lives in objective reality.
The Middle Class loves to be comfortable.
4
The World Class is comfortable being uncomfortable.
The Middle Class has a lottery mentality.
5
The World Class has an abundance mentality.
The Middle Class hungers for security.
6
The World Class doesn’t believe that security exists.
The Middle Class sacrifices growth for safety.
7
The World Class sacrifices safety for growth.
The Middle Class operates out of fear and scarcity.
8
The World Class operates from love and abundance.
The Middle Class focuses on having.
9
The World Class focuses on being.
The Middle Class sees themselves as victims.
10
The World Class sees themselves as responsible.
The Middle Class slows down.
11
The World Class calms down.
The Middle Class is frustrated.
12
The World Class is grateful.
The Middle Class has pipe-dreams.
13
The World Class has vision.
The Middle Class is ego-driven.
14
The World Class is spirit driven.
The Middle Class is problem oriented.
15
The World Class is solution oriented.
The Middle Class thinks they know enough.
16
The World Class is eager to learn.
The Middle Class chooses fear.
17
The World Class chooses growth.
The Middle Class is boastful.
18
The World Class is humble.
The Middle Class trades time for money.
19
The World Class trades ideas for money.
The Middle Class denies their intuition.
20
The World Class embraces their intuition.
The Middle Class seeks riches.
21
The World Class seeks wealth.
The Middle Class believes their vision only when they see it.
22
The World Class knows they will see their vision when they believe it.
The Middle Class coaches through logic.
23
The World Class coaches through emotion.
The Middle Class speaks the language of fear.
24
The World Class speaks the language of love.
The Middle Class believes problem solving stems from knowledge.
25
The World Class believes problem solving stems from will.

Tulisan di atas sengaja tidak saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia agar tidak mengurangi sedikit pun arti yang hendak disampaikan oleh Steve Siebold. Pemaknaan mungkin bisa berbeda-beda bagi setiap Anda yang membacanya. Bahkan, setiap kali Anda membaca ulang, mungkin Anda akan temukan pengertian yang semakin mendalam dan luas. Pertama kali saya membacanya, hanya satu kata yang ada dalam kepala saya, "WOOOOW!". Seketika pula saya kirimkan via email kepada teman-teman, kolega-kolega, "guru-guru"; berharap bisa menjadi salah satu sumber inspirasi mereka. Inspirasi untuk apa? BEBAS. Namun, saya yakin akan bermanfaat untuk dipahami dan dijadikan dasar dalam mencapai tujuan-tujuan hidup Anda.

Referensi:
  • Siebold, S. (2005). 177 Mental Toughness Secrets of the World Class. London House.
Terima kasih Anda sudah membaca tulisan ini.

Evaluasi Psikologis (Psychological Assessment)

Selasa, 08 Maret 2011 · 0 komentar

Anastasi (1988), salah satu psikolog terkenal dalam bidang pengetesan, mendefinisikan sebuah tes sebagai suatu pengukuran yang “objektif” dan “sudah distandarkan” terhadap suatu sampel perilaku. Definisi ini memusatkan perhatian pada 3 (tiga) elemen:
  1. objektivitas: bahwa, setidaknya secara teoritis, sebagian besar aspek dari suatu tes, seperti bagaimana suatu tes diskor dan bagaimana skor tersebut diinterpretasikan, bukan merupakan suatu fungsi/hasil keputusan yang subjektif dari seorang pemeriksa (examiner), melainkan didasari oleh kriteria yang objektif;
  2. standarisasi: bahwa, siapa pun yang mengadministrasi, menskor, dan menginterpretasi suatu tes, terdapat suatu keseragaman prosedur; dan
  3. suatu sampel perilaku: suatu tes bukanlah suatu röntgen psikologis atau pun seharusnya mengungkap konflik-konflik tersembunyi/terpendam dan harapan-harapan terlarang/haram; suatu tes merupakan suatu sampel dari perilaku seorang individu, yang diharapkan merupakan suatu sampel yang representatif (mewakili/menggambarkan), yang kemudian digunakan untuk menarik kesimpulan-kesimpulan dan hipotesis-hipotesis.

3 (Tiga) Cara Lain Memandang Manfaat Pengetesan Psikologis

  1. Meninjau suatu tes psikologis sebagai suatu wawancara: Ketika psikolog mengadministrasikan suatu tes di dalam kelas, pada dasarnya peserta sedang diwawancarai oleh instruktur tes untuk menentukan tingkat aspek-aspek psikologis yang diukur dalam tes tersebut. Dalam sebagian besar situasi, psikolog perlu “berbicara” dengan peserta, perlu mengetahui tingkat aspek-aspek psikologis. Misalnya, jika suatu perusahaan/organisasi sedang merekrut seorang arsitek untuk mendesain gedung kantor perusahaan-perusahaan kliennya, maka perusahaan/organisasi tersebut perlu mengevaluasi kompetensi yang dimiliki oleh kandidat-kandidat arsitek yang hendak dipekerjakan. Dengan demikian, “wawancara-wawancara” diperlukan, namun suatu pengetesan psikologis menawarkan banyak manfaat dibandingkan dengan suatu wawancara yang sudah distandarkan. Dengan suatu pengetesan psikologis, psikolog dapat: (1) mewawancarai 10, 30, 50, atau 1.000 kandidat pada saat yang bersamaan, (2) melakukan evaluasi yang jauh lebih objektif karena [misalnya] lembar-lembar jawaban pilihan ganda tidak mendiskriminasikan kandidat berdasarkan jenis kelamin, etnis, atau pun agama.
  2. Meninjau tes-tes psikologis sebagai alat-alat: Banyak industri/bidang memiliki alat-alat spesifik untuk melakukan pekerjaan. Misalnya, para dokter memiliki pisau bedah dan sinar X, para ahli kimia memiliki pembakar Bunsen. Hanya karena seseorang dapat menggunakan pisau bedah atau menyalakan pembakar Bunsen, tentu tidak membuatnya menjadi “ahli” dalam bidang tersebut. Penggunaan terbaik dari suatu alat adalah di tangan para profesional terlatih karena alat hanyalah merupakan suatu bantuan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Namun, pengetesan-pengetesan psikologis bukan hanya merupakan alat-alat psikologis, melainkan juga memiliki akibat-akibat/reaksi-reaksi politis dan sosial. Misalnya, pengetesan psikologis (istilah yang sering digunakan adalah fit and proper test) dalam menentukan kandidat mana yang masuk dalam daftar pendek calon direktur di organisasi pemerintah/sosial tertentu sekaligus menunjukkan upaya untuk meningkatkan/memperbaiki kinerja organisasi tersebut, publikasi yang tepat sasaran berkaitan dengan batasan skor penerimaan karyawan baru di suatu perusahaan tertentu sekaligus merupakan langkah branding (penciptaan/pemeliharaan citra atau suatu kualitas tertentu yang dimiliki) perusahaan tersebut.
  3. Meninjau pengadministrasian suatu tes sebagai suatu eksperimen: Dalam jenis eksperimen yang klasik, individu yang melakukan percobaan mempelajari suatu fenomena dan mengamati hasil-hasilnya, sementara pada waktu yang sama memeriksa seluruh variabel-variabel lain yang dapat mempengaruhi hasil percobaan (extraneous variables), sehingga hasil-hasilnya berasal dari suatu penyebab yang mendahuluinya. NAMUN, dalam pengetesan psikologis, biasanya tidak dimungkinkan untuk mengontrol seluruh extraneous variables. Perumpamaan di sini bermanfaat untuk memusatkan perhatian pada prosedur-prosedur yang sudah distandarkan, pada eliminisasi (penyisihan) penyebab-penyebab yang bertentangan, pada kontrol eksperimen, dan pada hipotesis-hipotesis hasil percobaan yang dapat diuji lebih jauh lagi. Oleh karena itu, jika seorang psikolog mengadministrasikan suatu tes inteligensi kepada “A”, maka psikolog tersebut perlu memastikan bahwa skor yang diperoleh “A” mencerminkan tingkat inteligensinya, ketimbang kemampuan “A” untuk mengikuti instruksi-instruksi, tingkat rasa lapar saat pagi hari belum sarapan, ketidak-nyamanan “A” dalam situasi pengujian, atau pengaruh-pengaruh lainnya.

Pengetesan Psikologis (Psychological Testing) vs. Evaluasi Psikologis (Psychological Assessment)

Evaluasi psikologis pada dasarnya merupakan suatu proses penilaian yang mana suatu informasi yang luas, seringkali mencakup hasil-hasil pengetesan-pengetesan psikologis, diintegrasikan (dipadukan/digabungkan) menjadi suatu pemahaman yang bermakna dari seorang individu tertentu. Pengetesan psikologis merupakan suatu konsep yang lebih sempit, yang mengacu pada: (1) aspek-aspek psikometri dari suatu tes (suatu informasi teknis tentang tes tersebut), (2) administrasi dan penskoran aktual dari suatu tes, dan (3) interpretasi yang dibuat berdasarkan skor-skor tersebut. Tentu saja bisa mengevaluasi aspek psikologis tertentu dari seorang individu hanya dengan mengadministrasi suatu tes atau kelompok tes (battery of tests). Namun, dalam melakukan evaluasi, psikolog biasanya juga menggunakan wawancara, ditambah dengan menggali informasi dari orang/sumber lain (bila tepat dan praktis/dimungkinkan untuk dilakukan) untuk memperoleh informasi latar belakang peserta tes.


Tujuan Pengetesan Psikologis

Pengetesan psikologis digunakan untuk tujuan-tujuan yang sangat variatif dan dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori umum:
  1. klasifikasi, menyangkut suatu keputusan bahwa seorang individu berada di dalam suatu kategori tertentu. Misalnya, berdasarkan hasil-hasil pengetesan, seorang individu ditempatkan pada posisi pekerjaan tertentu yang sesuai, seorang individu dinilai sudah memenuhi kualifikasi minimum untuk dipromosikan jabatannya dalam suatu perusahaan/organisasi, seorang individu diikut-sertakan dalam suatu jenis dan bentuk pengembangan keterampilan yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja, namun belum dimilikinya pada saat itu.
  2. pemahaman diri, menyangkut penggunaan informasi hasil-hasil pengetesan sebagai suatu sumber informasi tentang diri seseorang. Informasi tersebut mungkin sudah diketahui oleh individu yang bersangkutan, namun tidak dalam cara yang formal. Misalnya, “A” melamar pekerjaan sebagai seorang pengembang perangkat lunak (software developer) junior dan berpartisipasi dalam sesi pengetesan psikologis di suatu perusahaan. Hasilnya menunjukkan bahwa dibandingkan dengan orang-orang pada umumnya (norma tes), “A” memiliki tingkat inteligensi umum di atas rata-rata, kemandirian berpikir dan kemampuan verbal pada tingkat rata-rata, kemampuan numerik, daya tangkap, dan daya analisis pada tingkat di atas rata-rata, serta daya sintesis pada tingkat rata-rata, yang mana mengkonfirmasikan “A” mempunyai kemampuan-kemampuan yang potensial (memiliki kapasitas untuk dapat dikembangkan pada masa yang akan datang menjadi suatu keberhasilan/manfaat tertentu) yang diperlukan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan sebagai seorang software developer junior.
  3. evaluasi program, menyangkut penggunaan pengetesan psikologis untuk mengevaluasi efekivitas suatu program tertentu atau langkah-langkah tindakan tertentu. Misalnya, 3 (tiga) bulan setelah diadakannya suatu program konseling bagi karyawan di suatu perusahaan, diadakan pengetesan psikologis untuk mengevaluasi efektivitas program tersebut (misalnya, melalui indikator penurunan tingkat stres karyawan).
  4. penyelidikan/penelitian ilmiah, menyangkut penggunaan pengetesan psikologis oleh para profesional, praktisi dan/atau akademisi, yang banyak ditemukan dalam jurnal-jurnal ilmu sosial dan perilaku, untuk mendefinisikan secara operasional variabel-variabel yang relevan (berkaitan secara langsung) dan untuk menerjemahkan hipotesis-hipotes menjadi pernyataan-pernyataan numerik yang dapat dievaluasi secara statistik. Bahkan, beberapa peneliti berpendapat bahwa pengembangan suatu bidang ilmu pengetahuan, sebagian besar, merupakan fungsi/hasil dari teknik-teknik pengukuran yang ada/digunakan (Cone & Foster, 1991; Meehl, 1978).

Pengetesan Psikologis dalam Pengambilan Keputusan

Dalam kehidupan nyata, keputusan-keputusan perlu dibuat. Untuk menerima setiap kandidat (pelamar yang sudah masuk dalam daftar pendek melalui seleksi dokumen lamaran atau wawancara oleh tim manajemen/calon atasan) yang melamar untuk bekerja di suatu perusahaan/organisasi, tidak hanya akan menciptakan permasalahan-permasalahan finansial bagi perusahaan, namun juga menimbulkan situasi yang “kacau”, seperti ketidak-adilan/ketidak-puasan bagi karyawan baru yang ketika melamar untuk bekerja belum sepenuhnya mengetahui potensi yang dimilikinya (sehingga mungkin potensi yang dimilikinya tidak sesuai—bisa kurang atau lebih—untuk pekerjaan yang dilamarnya pada saat itu) dan kemudian mengalami penurunan motivasi berprestasi atau bahkan stres pada saat bekerja, ketidak-adilan/ketidak-puasan bagi “mereka” (atasan, rekan kerja, dan/atau tim pengembangan SDM) yang turut mencurahkan energi dan waktu dalam ketidak-berhasilan usaha-usaha pengembangan kinerja karyawan yang dinilai kurang memenuhi standar kinerja yang telah ditetapkan oleh perusahaan untuk posisi pekerjaan tersebut sementara di sisi lain mungkin pemenuhan standar kinerja “mereka” juga dinilai dari kemampuan untuk mengembangkan orang lain (developing others), dan juga ketidak-adilan/ketidak-puasan bagi klien-klien perusahaan atau masyarakat umum yang menerima layanan perusahaan yang kurang optimal dari karyawan tersebut (atau bahkan dinilai tidak kompeten), sehingga secara tidak langsung turut memberikan dampak negatif bagi pemeliharaan citra perusahaan/organisasi tersebut.

Sebagian besar psikolog setuju bahwa keputusan-keputusan mayor/utama seharusnya tidak didasari oleh hasil suatu administrasi tes yang tunggal, misalnya hanya berdasarkan nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sebagai hasil tes prestasi, atau skor Intelligence Quotient (IQ) sebagai hasil pengetesan inteligensi saja. Namun seringkali, data hasil pengetesan psikologis masih menjadi satu-satunya sumber data objektif yang standar bagi seluruh kandidat; sementara sumber-sumber data lainnya seperti wawancara, nilai-nilai mata kuliah tertentu, surat-surat rekomendasi, nilai-nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang diperoleh dari universitas yang berbeda, atau pun laporan-laporan/surat-surat yang diberikan oleh penilai lainnya seluruhnya masih dianggap bersifat “variabel” (tidak konsisten, tidak memiliki pola yang tetap).

Sebagai psikolog, sekaligus sebagai peneliti, George Domino dan Marla L. Domino (2006) menggunakan kombinasi sumber-sumber data dalam membuat prediksi-prediksi yang relevan. Mereka menyampaikan: (1) suatu prinsip psikologi umum bahwa perilaku masa lalu merupakan sumber terbaik untuk memprediksi perilaku yang akan datang, dan (2) sebuah proposisi (pernyataan yang dapat dipercaya, disangsikan, disangkal, atau dibuktikan kembali) yang sudah dibuktikan bahwa hasil-hasil pengetesan psikologis dapat menyediakan informasi yang sangat berguna untuk membuat prediksi-prediksi yang lebih akurat.

Referensi:
  • Domino, G. & Domino, M. L. (2006). Psychological testing: An introduction. New York: Cambridge University Press.
  • Groth-Marnat, G. (2003). Handbook of psychological assessment (4th ed.). New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Terima kasih Anda sudah membaca tulisan ini.

Psikolog Indonesia Belajar & Berbagi

Tulisan-tulisan di dalam blog ini sepenuhnya merupakan pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh dari pengalaman, bahan bacaan, dan/atau hasil studi, yang dinilai dapat bermanfaat bagi kolega, rekan kerja, teman, keluarga, serta masyarakat luas. Tanggapan-tanggapan, baik berupa diskusi (setuju atau pun tidak setuju beserta alasan-alasannya), pengalaman pribadi dan/atau orang lain, pertanyaan, kritik, dan/atau saran, atas tulisan-tulisan yang ditampilkan selalu terbuka bagi para penulis dan pembaca lain, demi tujuan-tujuan yang konstruktif, khususnya belajar dan berbagi bersama.

Blog ini ditujukan bagi para penulis dan pembaca untuk belajar menyampaikan informasi dan pengetahuan yang dimiliki secara cuma-cuma kepada siapa saja yang mungkin membutuhkan, sekaligus belajar menerima informasi dan pengetahuan baru dari para penulis dan pembaca lain yang bersedia menuliskan tanggapan atas tulisan-tulisan yang ditampilkan.

Blog ini dibuat dan dikembangkan setelah adanya pemahaman tentang analogi 'Laut Mati' yang disampaikan oleh seorang praktisi SDM di salah satu perusahaan multinasional: Tidak ada kehidupan di Laut Mati, karena Laut Mati hanya menerima, namun tidak memberi (alias berbagi). Beberapa waktu sebelumnya, seorang teman menggunakan analogi 'Gunung Tinggi' untuk menunjukkan bahwa: Tidak menyenangkan dan sunyi berada di atas Gunung Tinggi seorang diri hanya karena diri memilih dan berkeinginan untuk mengetahui segala sesuatunya tentang dunia, lalu tidak ingat pentingnya berbagi pengetahuan untuk bisa terus-menerus belajar. Seorang bijak lainnya menambahkan: Belajar dan berbagi dalam hidup sangat penting agar manusia tidak menjadi arogan.

Nah, bagi siapa pun yang hendak turut menuliskan ide/pemikiran melalui blog ini, silahkan mengirimkan nama lengkap, deskripsi diri, dan contoh tulisan ke: tjo.ellys@gmail.com, untuk ditambahkan ke dalam Daftar Penulis blog ini. Mohon cantumkan referensi bila mengutip dari sumber bacaan/film/karya lain.

Selain itu, via alamat email tersebut, Anda bisa juga mengirimkan tanggapan-tanggapan, topik-topik ide/pemikiran untuk dituliskan, dan/atau KONSULTASI atau KONSELING GRATIS dengan Administrator dalam batasan kode etik profesi sebagai psikolog. Anda dapat mengajukan diri pula untuk ditambahkan ke dalam atau dihapuskan dari mailing list (daftar penerima informasi bila diterbitkan tulisan-tulisan baru) blog ini. Tentu, sebelumnya Anda perlu menjadi follower blog ini dengan mengklik icon 'Follow' di bagian 'PENGIKUT BLOG INI'.

Ditunggu ya partisipasinya ... :)
Terima kasih.

Salam & Semangat Belajar & Berbagi,
Ellys Tjo, M.Psi., Psikolog, CHRP
selaku Administrator

Kutipan

It is a fine thing to have ability, but the ability to discover ability in others is the true test. ~Elbert Hubbard (1856-1915)
For me, words are a form of action, capable of influencing change. ~Ingrid Bengis (1944 - ...), quoted by Barack Obama in one of his 2008 campaign speeches.

Pengikut Blog Ini

Penelusuran Lainnya